SELAMAT TINGGAL KOTA MAKKAH

(Bagian Ketiga Belas)

KLOTER KETUJUHBELAS

Oleh Zulkarnaini Diran

“Tawaf Wadak” adalah tawaf terakhir sebagai penghormatan kepada Baitullah pada saat melaksanakan haji. Tawaf ini disebut juga tawaf perpisahan. Tawaf wadak dikerjakan jemaah haji yang akan meninggalkan  Makkah (Ma’sum Anshori dalam Fiqih Ibadah).

Jemaah kelompok terbang ke-17 embarkasi Padang melakukan tawaf wadak sebelum meninggalkan Makkah. Jemaah yang tergabung dalam kloter ini akan bertolak ke Madinah Kamis, 4 Juli 2024 pukul 08.00 WAS. Jemaah melakukan tawaf wajib ini pada pagi sampai Rabu, 3 Juli 2024 (pagi sampai malam hari). Mereka yang berkemampuan (istithoah) fisik memadai melaksanakan Rabu malam. Menurut pada ulama, semakin dekat pada waktu keberangkatan melaksanakan tawaf, semakin afdol.

Saya dan istri serta enam orang jemaah lain melakukannya pada pagi hari Rabu 3 Juli 2024. Usai Subuh kami mempersiapkan diri untuk itu. Sengaja diambil usai Subuh, selain cuaca tidak terlalu panas, pelataran Ka’bah tidak terlalu ramai. Ditambah lagi dengan pertimbangan faktor usia jemaah yang rata-rata di atas 60 tahun. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah rekomendasi Kementerian Kesehatan RI melalui petugas kesehatan embarkasi. Anjuran dalam rekomendasi itu adalah melakukan tawaf wadak sekurang-kurangnya 12 jam sebelum meninggalkan Makkah.

Ketika tawaf wadak selesai dilakukan, berarti rangkaian ibadah haji telah tuntas. Tawaf perpisahan ini menurut sebagian besar ulama adalah prosesi wajib yang harus dilakukan jemaah pada saat meninggalkan Makkah. Intinya adalah mengucapkan selamat tinggal kepada Ka’bah dan Makkah. Oleh karena itu tawaf wadak juga disebut tawaf perpisahan.

Rangkaian ibadah haji meliputi sejumlah ibadah yang mengandalkan fisik. Hal itu dimulai dengan ”umrah wajib pertama”. Umrah ini dilakukan ketika pertama menginjakkan kaki di Makkah Almukarramah. Jemaah kloter ke-17 melakukannya malam dan pagi hari (1 dan 2 Juni 2024). Ibadah ini tidak hanya menguras kekuatan fisik, tetapi menggerogoti hampir semua energi yang ada di tubuh. Jemaah meninggalkan rumah 30 Mei, menginap di Asarama Haji Padang 31 Mei, malamnya berangkat ke Jeddah, sampai di Makkah 1 Juni, setelah melakukan penerbangan selama delapan jam. Nyaris semua jemaah hanya dapat beristirahat secara sambilan, yakni di asarama haji dan di pesawat. Alhamdulillah, ibadah ini dapat ditutaskan.

Proses berikutnya adalah kegiatan di Arafah, Muzdalifah, Mina (Armuzna), serta melontar Jamarat. Jemaah memiliki waktu luang yang cukup panjang. Waktu yang terpakai untuk  itu sekitar lima dan atau enam hari. Rentangan waktu untuk sampai ke jadwal kegiatan cukup panjang yakni dua belas hari. Bertolak ke Arafah 8 Zulhijaah (14 Juni). Untuk mengisi waktu  lowong itu, jemaah mempersiapkan diri untuk prosesi puncak Armuzna. Satu di antara kegiatan wajib yang harus dilakukan jemaah dalam rentangan waktu itu adalah memperiapkan pembayaran ”dam” karena jemaah Indonesia melaksanakan ”haji tamatuk”. (khusus ini diungkapkan pada tulisan lain).

Usai tawaf wadak, salat sunnah mutlak dua rakaat, dan berdoa, saya melakukan refleksi. Saya mengevaluasi setiap prosesi yang dilakukan. Simpulan sementara yang dapat diambil atas refleksi itu adalah masalah ”diri atau aku”. Untuk mengikuti prosesi ibadah haji secara utuh dan optimal, diperlukan diri atau aku yang dipersiapkan. Maksudnya, sebelum berangkat berhaji, fisik benar-benar harus terlatih. Hal ini tidak pandang usia. Tua atau muda, fisik harus terlatih. Kekuatan fisik bukan hanya terletak pada usia, tetapi pada “keterlatihan” sebelum berhaji.

Selain persiapan fisik yang prima, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pikiran. Berpikir positif sangatlah diperlukan. Merespon setiap kejadian dalam interaksi sesama jemaah dan petugas ”sangat diperlukan”. Jika berpikir positif tidak dilatih sebelum berehaji, maka jemaah akan mengalami kekecewaan setiap saat, setiap waktu, bahkan sepanjang prosesi haji berlangsung. Akhirnya yang terlontar dari mulut atau jemari ialah ”keluahan-keluhan” belaka. Pada akhirnya keluahan itu menggambarkan ”ketidakpuasan” terhadap lingkungan tempat mereka kini berada. Akan tetapi, jika memiliki keterlatihan dalam berpikir positif, semua kejadian akan menjadi pengalaman batih yang ”indah dan penuh makna”.

Berlatih mengendalikan hati atau qalbu bagian yang teramat penting di antara fisik dan pikiran. Hati adalah ”magma” atau kekuatan dari dalam yang teraktuliasis melalui ucapan dan perbuatan. Hati terkendali, ucapan, jemari, dan perbuatan terkendali. Hati yang terkendali akan membuat sekitarnya bercahaya dan damai. Sebaliknya, hati tidak terkendali akan menimbulkan kekacaua di sana-sini. Bahkan yang sedang damaipun akan dibuat kacau olehnya. Oleh karena itu, sebelum berhaji jemaah seyogyanya berlatih mengendalikan hati.

Refleksi dengan kesimpulan sementara ini, insya-Allah akan dibahas pada tulisan-tulisan berikut. Akan tetapi, hari ini, saat ulisan ini dibuat adalah saat-saat terbaik untuk merefleksi karena kota Makkah akan segera ditinggalkan, semua kenangan akan tersimpan dalam memori, semua kesalahan dan dosa berhaji pun dicatat oleh malaikat pencatat. Ibadah-ibadah wajib dan sunnah yang dilakukan dengan ikhlas juga dicatat oleh malaikat yang insya-Allah akan mengimabngi dosa-dosa yang dilakukan. Selamat tinggal Kota Makkah dengan segala kenangannya. Proses selamat tinggal itu ditandai dengan ”tawaf wadak” yang dilakukan.

Insya-Allah pada waktu lain dengan prosesi berbeda kami akan datang lagi mengujungi kota yang penuh rahamat ini.

Makkah, Lobi , Romance Hotel, 320, 03 Juli 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *