CATATAN KECIL PENGABDIAN PENGURUS KLOTER (1)

(Bagian Kesembilan Belas)

KLOTER KETUJUH BELAS

Oleh Zulkarnaini Diran

Kloter Ketujuhbelas Jemaah Haji 2024 Embarkasi Padang dipimpin oleh seorang Ketua Kloter. Ketua dibantu oleh tiga tenaga masing-masing seorang pembimbing ibadah, seorang dokter, dan seorang perawat. Keempat orang ini adalah pemilik otoritas mengurus jemaah yang jumlahnya lebih dari tiga ratus orang. Kini, semua fase prosesi haji sudah berakhir, “masyarakat” kloter ini telah bubar. Pengurusnya pun kembali ke pekerjan masing-masing. Semua peristiwa atau kejadian selama 45 hari di dalam komunitas kloter kini tinggal menjadi kenangan yang tercatat di dalam memori masing-masing jemaah.

Tulisan ini bagian dari beberapa catatan selama tergabung dalam masyarakat kloter ketujuh belas. Saya mengkhususkan tulisan untuk mengenang pengabdian keempat orang tangguh yang memliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing. Sengaja ditulis khusus untuk itu karena saya sangat bahkan terlalu dekat dengan keempat orang ini. Kedekatan itu bukan hanya kepentingan antara pengelola kloter dengan jemaah, tetapi lebih dari itu, yaitu kedekatan ”ukhuwah islamiah”. Tulisan ini sangatlah subjektif. Saking subjektifnya, mungkin akan ada pembaca yang sependapat dan berbeda pendapat dengan saya. Hal itu wajar dan lumrah. Akan tetapi, yang jelas saya menulis seadanya dan apa adanya dari kacamatan subjektifitas saya.

Kloter ketujuh belas diketuai oleh Okto Varisman, S.Ag., M.A. Okto lahir di Sawahlunto, 30 Oktober 1971. Saya tidak dan belum mengenal beliau selama ini. Perkenalan kami terjadi ketika KBIHU At-Taqwa Muhammadiyah Sumatra Barat mengundang beliau untuk bertemu dengan jemaah. Saat itu kami langsung berkenalan. Perkenalan pertama itu saya dan Pak Okto menjadi akrab. Bahkan terasa sudah berkenalan lama. Selain itu, saudara sepupu saya, Prof. Dr. H. Asasriwarni, M.H. juga menelpon beliau, bahwa saya ada di dalam kloter yang dipimpinnya. Begitulah kami menjadi sangat akrab.

Okto adalah Kepala Kantor Kementerian Agama Dharmasraya, Sumatra Barat. Dalam jabatannya dia terlihat cukup berkarir. Diawali sebagai kepala Kantor Urusan Agama (KUA), Kasi Penyelenggara Haji dan Umroh, Kasi Bimas Islam, Kasubag Tata Usaha, dan kini sebagai orang pertama di Kantor Kemenag “Negeri Sawit” itu. Ayah dua anak ini memiliki latarbelakang keilmuan Hukum Islam. Gelar yang dimilikinya adalah Megister Syariah di UIN ImamBonjol Padang.

Perkenalan kami yang sesaat itu menjadikan kami akrab melalui komunikasi seluler. Selanjutnya kami bersama dan berdiskusi tentang hal-hal prinsip yang berhubungan dengan penyelenggaraan haji. Selain itu, saya juga sering bertanya tentang hal-hal yang berhubungan dengan dalil-dalil ibadah. Beliau menjawab dengan lugas, lancar, dan pasti. Itu mungkin kerena beliau selain pejabat di kementerian agama, juga dai’ di tengah-tengah masyarakat. Hebatnya, di dalam setiap diskusi dengan topik tertentu, di ujungnya kami memiliki kesamaan dalam penyimpulan. Sehingga beberapa tulisan saya dalam perjalanan kloter ini,  terinspirasi dari hasil diskusi itu.

Di mata saya Okto memiliki integritas tinggi. Dia konsisten dan taat terhadap ketentuan-ketentuan baku yang diyakininya. Orangnya berani mengatakan ”tidak” untuk hal yang harus ditidakkan. Dalam kondisi apapun lelaki yang katanya berasal dari keturunan orang Agam ini tetap mengatakan tidak untuk hal yang harus ditidakkan. Sebaliknya, Okto juga tidak segan-segan meminta maaf atas kealfaan yang dia lakukan. Pada sisi lain dia memiliki tingkat kesabaran optimal. Saya menyebutnya ”sabar tidak terbatas atau tidak berhingga”. Hal itu sempat saya lontarkan kepadanya beberapa kali.

Banyak respon-respon sumbang yang emosional di WAG Embarkasi yang ditujukan kepada pengurus kloter. Beliau tidak “mengkonter” komentar dan respon seperti itu. Hal itu menunjukkan tingkat kesabaran yang optimal. Jika hal itu direspon, tentu akan menimbulkan kegaduhan dalam kloter. Saya di dalam pertemuan ”empat mata” sering menyatakan salut kepada Pak Okto atas kesabaran tidak terbatas yang dimilikinya. Mungkin ini amatlah diperlukan untuk mengelola masyarakat heterogen di dalam kloter. Pada dasarnya terlalu banyak yang harus diceritakan tentang lelaki yang selalu tersenyum dan gembira ini, meskipun kadang-kadang didera kelelahan yang amat dahsyat.

Banyak ”pengalaman getir” Pak Okto yang saya rekam. Akan tetapi sebagai contoh saya tampilkan beberapa saja. Satu di antaranya  ketika AC di kamar hotel anggota regu saya tidak berfungsi. Ketua rombongan sudah melaporkan hal itu kepada pihak hotel dan kepada ketua kloter. Hampir tiga hari AC masih belum berfungsi. Akhirnya kami berdiskusi dengan ketua romobongan dan beberapa orang lain. Maksudnya meminta pendapat untuk solusi dari masalah ini.

Simpulan diskusi kami adalah menulis surat kepada ketua Kloter. Isinya seperrti ini:

”Assalamulaikum wr.wb., saya Zulkarnaini Diran bin Diran, ketua regu enam, rombongan dua kloter 17 menyampaikan: (1) anggota regu saya sepuluh orang. Lima di antaranya penghuni kamar 1326; (2) semua anggota yang menghuni kamar itu perempuan berusia di atas enam puluh tahun, bahkan satu orang berusia 73 tahun; (3) AC di kamar itu tidak berfungsi sejak tiga hari yang lalu (Selasa malam, 4 Juni 2024), sehingga para lansia di kamar itu sangat tersiksa; (4) hari pertama hal itu telah diketahui ketua rombongan. Ketua rombongan bolak-balik mengurusnya ke pihak yang berkepentingan, termasuk teknisi hotel. Sampai saat ini ternyata belum diperbaiki. Sementara lansia penghuni kamar 1326 sudah ada yang sakit. Selain itu, seharian duduk dan salat di gang hotel di depan kamar; (5) Sesuai dengan moto haji tahun ini ”Ramah Lansia”, saya meminta kerendahan hati ketua kloter untuk mencarikan solusinya. Jika solusi tidak ditemukan, tentu jemaah wanita di kamar itu akan mengalami penyiksaan panjang dan tidak manusiawi. Secara eksternal ini bisa menjadi tragedi pelayanan haji nasional; (6) tembusan disampaikan kepada dikter kloter 17; (7) Terimakasih (Zulkarnaini Diran bin Diran ketua regu enam, rombongan dua)

Selang beberapa jam setelah surat saya kirim melalui seluler, AC di kamar ibu-ibu diperbaiki. Kabarnya, Ketua Sektor tiga yang membawahi sejumlah kloter ikut melihat kondisi kamar itu. Alhamdulillah. Namun di balik itu, saya merasa menyesal menulis seperti itu. Saya khawatir hal ini dapat merusak ukhuwah islamiah saya dengan Pak Okto, tapi itulah jalan satu-satunya yang harus ditempuh untuk menyelamatkan kaum ibu di kamar 1326 itu. Saya menduga, surat itu, terutama yang saya cetak miring dan tebal di atas membuat ketua kloter tersinggung dan marah kepada saya. Akan tetapi itu tidak terjadi. Menjelang Isya saya dan Pak Okto bertemu di lobi hotel. Beliau menyapa saya sambil mengaarkan bahwa AC di kamar 1326 telah pulih. Tidak terlihat sedikit pun ekpresi marah dan jengkel dari wajahnya. Ini sengaja saya jadikan catatan ”mengesankan”.

Saat itu di Makhtab 100 Minna. Kami baru saja pulang dari melontar di Jmarat. Usai Magrib ada kabar bahwa warga Kloter 17 ada yang kesasar. Nyasar ke Makhtab orang-orang Eropa. Berjarak hampir enam kilometer dari Makhtab 100. Pak Okto didampingi Pembimbing Ibadah Pak Syahroni, dan Ketua Regu 5, Rombongan 2, Pak Yasrial Yasin berangkat ke mahktab tempat jemaah perempuan ini tersasar. Konon, pukul 02.00 pagi barulah sampai kembali di Makhtab 100. Paginya saya sempat menyapa beliau, pak Okto tentang kejadian malam itu. Beliau hanya tersenyum. Di balik senyumnya saya menangkap makna, “itulah keonsekuensi menjadi ketua kloter”.

Seorang jemaah Kloter Tujuh Belas mendapat priortias “tanazul”. Jemaah ini dapat dipulangkan lebih awal. Prosesi hajinya sudah selesai, jemaah perempuan lansia ini tidak harus ke Madinah. Dia dapat fasilitas untuk pulang lebih awal dengan kloter lain yang juga dari Embarkasi Padang. Ibu ini (tidak disebut nama untuk kepentingan normatif), pada dasarnya perlu bantuan orang lain. Dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Sementara itu pendampingnya tidak ada. Di kolter tujuh belas, ada tetangganya yang selalu membantu. Kini ibu ini akan dititipkan dengan kloter lain yang tidak dikenalnya dan tidak mengenal dia. Bisa jadi, ibu yang jemaah lansia ini bisa mendapat tekanan batin yang dahsyat.

Satu malam sebelum kepulangan ibu ini, kami sempat berbincang. Pak Okto sebenarnya telah mengambil sikap bahwa jemaah ini harus ditarik kembali ke kloter ketujuhbelas demi kemanusiaan. Tidak mungkin dia pergi bersama orang tidak dikenalnya. Saat itulah kami berbincang serius. Saya berkomentar, ”Inilah tugas kemanusiaan Pak Ketua yang paling mulia.” Mendengar komentar saya itu beliau semakin yakin dengan keputusannya. Malam itu juga dia tuntaskan surat-menyurat penarikan jemaah ini. Esok paginya, Pak Okto memperlihatkan surat bahwa perjuangannya mengembalikan jemaah ke Kloter Ketujuhbelas berhasil. Saya hanya berucap, ”Alhamdulillah”.

Banyak catatan yang saya buat tentang Pak Okto. Yang saya tulis di sini adalah sisi kecil dari pengorbanan yang dia lakukan. Kalau begitu apakah Pak Okto tidak memiliki kelemahan dan kesalahan? Siapapun, apapun pangkat dan jabatannya, apapun gelar akademiknya, selagi dia manusia, tetaplah memiliki kelemahan dan kesalahan. Termasuk Pak Okto Ketua Kloter Ketujuhbelas, Embarkasi Padang ini. Ada kelemahan dan kesalahannya, saya juga mencatat itu. Akan tetapi, ajaran Islam yang saya pahami melarang saya untuk ”mengatakan dan mempublikasi keburukan dan aib orang lain”. Itu benar-benar saya yakini dan saya terapkan dalam kehidupan saya dan keluarga. Oleh karena itu, saya tidak mempublikasi sisi lemah dan sisi salah Pak Okto. Di sinilah letaknya subjektifitas tulisan saya ini.

Mudah-mudahan, tulisan pendek ini dapat menjadi ”ucapan terimakasih tidak berhingga” kepada Pak Okto, Ketua Kloter Ketujuhbelas, Embarkasi Padang. Sekaligus terimaksih atas terbentuknya ”ukhuwah islamiah” antarjemaah, antara jemaah dengan pengurus kloter atas kepmimpinan Pak Okto. Salam.

Jl. Golof Nomor 26, Batipuah Panjang, Kototangah, Padang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *