(Bagian Kelima Belas)
KLOTER KETUJUH BELAS
Oleh Zulkarnaini Diran
Kamis, 4 Juli, pukul 11.00 WAS bertolak dari Makkah. Bus melaju dengan kecepatan sedang menuju Madinah. Pukul 17.00 bus yang mengangkut jemaah Rombongan Dua, Kloter 17 Embarkasi Padang memasuki “Kota Nabi” itu. Saya dan istri berharap, salat Magrib dan Isya dapat ditunaikan di masjid megah itu. Antara pukul 17.00 dengan jadwal Magrib masih berjarak 120 menit lebih. Cukuplah untuk persiapan ke Nabawi dari hotel.
Harapan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Harapan untuk Magrib dan Isya di masjid nabi ini buyar. Pasalnya, antrean menurunkan penumpang di depan hotel memakan waktu hampir tiga jam. Sopir bus tidak mau menurunkan penumpang sebelum penumpang mobil yang didepannya tuntas diturunkan. Begitulah kami rombongan dua yang terdiri dari 41 jemaah itu duduk tertib di dalam bus menunggu giliran diturunkan.
Situasi ini kembali memberikan pendidikan dan pembelajaran. Menekan dan membatalkan harapan diperlukan pada saat-saat tertentu. Mengoptimalkan kesabaran sangat dituntut pada situasi yang lain. Beribadah, termasuk berhaji, dan berziarah ke masjid nabi, mengandung nilai-nilai edukasi yang sangat mendalam. Tahan diri untuk mewujudkan harapan dan bersabar menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, adalah nilai edukasi yang pantas dihayati.
Mungkin tidak semua orang dapat menangkap makna di balik itu. Tidak pula semua individu mampu menghadapi kondisi-kondisi seperti itu dalam konteks ini dan dalam konteks kehidupan nyata lainnya. Akan tetapi, semua orang tentu harus berlatih, berupaya, dan berjuang untuk berdamai dengan berbagai situasi. Apatah lagi perjalanan ini adalah “perjalanan ibadah”.
Begitulah kami berjuang melawan diri sendiri menghadapi kondisi di bus sore itu. Hal yang dilawan di dalam diri adalah “keinginan” atau harapan. Keinginan untuk Magrib dan Isya di Nabawi. Pada sisi lain yang dilawan adalah ketidaksabaran menghadapi keadaan. Melawan diri sendiri dalam situasi-situasi tertentu merupakan serpihan dari akhlakul karimah. Alhamdulillah, rombongan dua berhasil “berdamai” dengan keadaan sore itu.
Pukul 20.15 barulah segala sesuatu selesai di hotel. Semua keperluan di hotel sudah teratasi, kecuali makan malam. Saya tetap saja ingin mewujudkan niat semula. Buru-buru mandi dan berpakaian untuk ke Nabawi yang hanya berjarak lebih kurang 200 meter dari hotel. Rupanya waktu berjalan demikian cepat. Waktu insya pukul 20.45, sedangkan saya masih di hotel pukul 20.55. Niatan itupun di batalkan, tidak jadi Isya di Nabawi. Benarlah ujaran Imam Nawawi, “Tugas manusia hanya dua yakni berikhtiar dan berdoa, menentukan hasil adalah kewenangan Allah SWT. Jangan campuri urusan Allah.
Seperti biasa, pukul 02.00, Jum’at, 05 Juli saya bangun. Mandi, beruduk, berpakaian, menyeduh kopi dan mengecap makanan ringan, diiringi dengan salat malam. Pukul 03.00 bertolak ke Masjid Nabawi melanjutkan tahjud, zikir, berdoa, dan membaca Al-Qur’an yang memasuki jus ke-13. Akhirnya azan Subuhpun berkumandang. Itulah jadinya, harapan Magrib dan Isya 04 Juli di Nabawi, ternyata hanya terwujud Subuh, 5 Juli 2024. Itulah “skenario” Allah SWT yang tidak dapat dicampuri oleh makhluk-Nya. Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
Madinah, Masjid Nabawi, 05 Juli 2024