BERHAJI BERSAMA RASUL

Dr. H. Zulheldi, M.Ag.

(Dosen Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Fakultas Usuluddin dan Studi Agama, UIN Imam Bonjol, Padang)

Mengunjungi dua Tanah Haram (al-Haramaian) untuk melaksanakan ibadah haji menjadi keinginan terbesar setiap mukmin yang sadar akan kewajiban ber-Islam, baik laki-laki ataupun perempuan, di bagian manapun dari bumi ini daerah asalnya. Mereka mengimpikan berkumpul di Makkah-Madinah dan sekitarnya untuk memenuhi panggilan Rabb mereka yang Maha Rahmah. Kaum muslimin rela mengorbankan biaya, waktu, tenaga, bahkan pikiran dan hati untuk mewujudkan impian bisa menginjakkan kaki di tempat Islam pertama kali diperjuangkan itu. Untuk kasus Indonesia, umat Islam tidak masalah menyetorkan biaya pendaftaran yang jumlahnya sekitar setengah pembiayaan haji, menunggu waktu keberangkatan selama belasan bahkan puluhan tahun, dan menggunakan seluruh energi yang masih tersisa untuk bisa melaksanakan rukun Islam kelima ini. Pokoknya, untuk berangkat haji dan melaksanakannya, setiap muslim menyiapkan diri dengan upaya paling maksimal, bahkan tanpa memikirkan apakah masih helaan nafas tersisa setelah ibadah suci ini selesai tertunaikan.

Akan tetapi, berawal dari kedangkalan seorang Muslim dalam menyelami hakikat haji, tidak sedikit dari mereka yang telah diizinkan Allah mendatangi langsung Rumah-Nya (Baitullah) menginginkan berhaji sesuai maunya. Segala sesuatu yang didapatinya di Tanah Haram dinilai berdasarkan persepsi dan kalkulasinya sendiri. Seluruh deviasi (kesenjangan atau ketidaksesuaian) antara apa yang dia bayangkan dengan realitas Makkah-Madinah dijadikan sebagai objek keluhan, dalih, bahkan kambing hitam guna menutupi karat dan noda hitam yang masih bersemayam di dalam hatinya. Ada saja ketidakcocokan dan “kekurangan” yang dijadikan dalil agar dia dipandang benar, sekalipun dia tidak berhaji menurut yang seharusnya. Dipersepsikan kepada orang lain, bahkan di hadapan Sang Khaliq Yang Maha Mengetahui, bahwa dia adalah seorang jamaah yang berkomitmen tinggi untuk mengejar haji mabrur. Hanya saja, niat dan upaya suci tersebut rusak oleh banyaknya hal-hal eksternal di Makkah-Madinah yang tidak mendukungnya. Banyak hal “remeh” dijadikan objek cerita negatif melaksanakan haji yang telah menguras waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk berkeluh kesah kepada Allah SWT.

Makanan, khususnya lauk atau samba, tidak jarang menjadi objek keluhan sebagian besar jamaah haji. Berbagai aspek di seputar makanan dijadikan objek sorotan negatif. Lidah mereka yang lokal, tepatnya selera lokal, amat kesulitan beradaptasi dengan selera makan internasional. Menu makanan yang monoton mendapatkan sorotan utama ketika membuka tutup tempat nasi. “Ayam lagi”, “Tidak selera membayangkan ayam kalkum”, “Dagingnya bule dan pucat”, “Cabenya mana?”, “kok kering”, “tidak mengundang selera makan”, dan berbagai keluhan lainnya. Akhirnya popmie, bakso, lontong, dan berbagai kuah-kuahan menjadi sasaran pelampiasan. Ada yang dijadikan sebagai tambahan lauk-pauk, tapi dan ada juga yang hanya mengandalkan makanan-makanan tersebut atau fungsinya berubah menjadi pengganti makanan katering yang disediakan maktab. Jika hanya untuk beberapa hari saha, tentu saja gaya makan semacam ini tidak akan jadi masalah di daerah panas. Tapi jika rutin mengandalkan mie dan mie satu bulan lebih? Di sinilah titik krusial digerogotinya kesehatan sebagian jamaah haji.

Suhu Makkah-Madinah yang selalu berkisar pada angka 40-an derajat celsius menjadi bacaan tersendiri. Suhu tersebut terasa sangat panas bagi sebagian orang Indonesia. Ada jamaah yang hanya kesulitan di masa awal masa haji saja, tapi sebagian lain merasa tidak nyaman di sepanjang waktu tinggalnya di dua kota suci ini. Jamaah merasa tidak bebas beraktifitas di luar ruangan, termasuk untuk melaksanakan ibadah, khususnya Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat fardhu, apalagi thawaf. Seringnya menghirup udara panas membuat sebagian besar jamaah terserang penyakit pernafasan (batuk, pilek, dan sebagainya). Kondisi luar ruangan yang panas amat kontras dengan suhu ruangan hotel yang dingin. Banyak juga jamaah yang pisiknya tidak kuat menjalani aktifitas dalam dua suhu ekstrim ini, apalagi mereka yang rentan sakit, baik karena usia atau riwayat kesehatannya yang buruk. Kondisi ini sudah pasti menjadi objek keluhan atau menjadi bagian cerita ketidaknyamanan jamaah.

Tidak mandirinya sementara jamaah dalam mengatur pelaksanaan ibadah-ibadahnya yang bersifat pribadi juga menjadi sumber masalah lainnya. Apalagi ketika dikaitkan dengan masa tinggal yang relatif agak panjang, khususnya di Kota Makkah. “Apa kegiatan hari ini?”, “Apakah sekarang kita hanya akan tidur saja di kamar atau ada kegiatan bersama?”, “Kenapa tidak ada jadwal kegiatan harian dari petugas haji?”, “Kenapa kita tidak mendapatkan pembinaan?” “Kenapa kita tidak boleh atau dibatasi untuk ziarah (jalan-jalan)?”, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu juga tidak kalah potensialnya sebagai sumber keluhan. Bagi sebagian jamaah, sekarang dia sedang di luar negeri (Makkah dan Madinah) dan ibadah pokok (haji dan umrah) sudah selesai, kenapa waktu luang tidak dimanfaatkan untuk melihat tempat-tempat penting di sini? Kurang tepat rasanya jika waktu yang hanya dihabiskan untuk beribadah semata, baik bolak-balik ke Masjidil Haram atau berdiam diri di penginapan. Baginya, membaca al-Qur’an, shalat sunat, berdoa, berzikir, belajar Islam, dan ibadah sejenis lainnya dapat dilakukan setelah kembali ke Indonesia.

Tidak dipungkiri bahwa memang terdapat banyak perbedaan tergolong ekstrim antara keadaan di Indonesia dengan Arab Saudi. Tidak sedikit potensi kesulitan dalam menunaikan rukun dan wajib haji secara sempurna. Memang banyak keterbatasan dalam berhaji seperti yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabat. Masjidil Haram terus berbenah dan berubah, lokasi thawaf selalu padat oleh jamaah, daerah Arafah dan Mina semakin sempit, Jamarat yang selalu butuh adaptasi dengan volume jamaah, dan sebagainya.

Bagi siapapun yang tidak terbiasa berjalan kaki, beribadah ke Masjidil Haram menjadi tantangan tersendiri. Memang bus shalawat telah disediakan pemerintah Indonesia yang beroperasi 24 jam untuk mengangkut jamaah. Tapi, bus tersebut hanya mengantarkan sampai ke terminal Syib Amir. Dari terminal tersebut jamaah harus berjalan menuju kaki ke masjid dengan jalur yang sering berubah, menemukan tempat untuk beribadah, dan kembali lagi ke terminal untuk diantarkan kembali ke hotel. Untuk sekadar menemukan tempat melaksanakan shalat dan ibadah-ibadah statis lainnya, tidak jarang jamaah membutuhkan banyak langkah, puluhan bahkan sampai ratusan. Setelah melangkah jauh menemukan pintu yang direncanakan sebelumnya, rupanya pintu tersebut ditutup dan petugas mengarahkan ke pintu lain, bahkan ke lantai yang berbeda. Agar lebih leluasa menemukan tempat yang kondusif, jamaah harus berangkat lebih awal, misalnya sekitar 02.30 untuk melaksanakan shalat Shubuh dan ibadah lainnya. Lain lagi halnya dengan jamaah yang terbiasa sering ke toilet, untuk sekadar berwudhu’ atau paket lengkap. Setelah berjalan cukup jauh menemukan toilet, jamaah tidak bisa memastikan akan dapat kembali lagi ke tempat semula. Tidak jarang, dia harus berputar lagi tempat lain yang tidak tertutup kemungkinan lebih jauh dibandingkan kembali ke tempat sebelumnya.

Tidak kalah menantangnya ketika seseorang ingin melaksanakan ibadah thawaf, berputar mengelilingi Ka’bah. Dia harus turun ke pelataran Ka’bah dengan dinamika tantangannya atau melaksanakan ibadah thawaf di lantai 2-4 dengan jarak tempuh yang lebih jauh. Turun ke pelataran Ka’bah butuh perjuangan tersendiri, bahkan strategi nekad. Dalam kondisi umum, setiap jamaah yang ingin ke pelataran harus berpakaian ihram. Akan tetapi, tidak sedikit juga jamaah yang telah siap dengan pakaian ihram tapi tidak berhasil sampai di lantai dasar karena terbatasnya area pelataran sehingga para petugas harus melakukan penyekatan. Kendala tersebut relatif tidak ditemui di siang hari, khususnya ketika cuaca panas. Setelah sampai di area Ka’bah, perjuangan belumlah selesai. Tantangan thawaf di pelataran Ka’bah adalah padatnya jamaah sehingga seringkali harus berdesak-desakan, khususnya di area setelah rukun Yamani sampai Maqam Ibrahim. Bahkan, jamak terjadi adanya sebarisan jamaah yang memaksa memutus aliran thawaf secara vertikal di area sekitar Rukun Hajar Aswad. Jika jamaah ingin melaksanakan thawaf dengan sedikit tantangan, dia dapat memilih lantai dua, tiga, atau empat (selain pelataran Ka’bah). Walau tetap saja berresiko sedikit tertabrak dari belakang atau samping oleh jamaah yang berjalan cepat, thawaf di lantai atas dapat lebih santai. Hanya saja, langkah kaki harus lebih banyak dan waktu tempuh lebih lama, sekitar 10-12 menit untuk satu putaran.

Area Mina, Jamarat, dan rute Mina-Jamarat menyimpan cerita perjuangan tersendiri. Mina yang sempit, rute ke Jamarat yang acap padat-merayap, dan area Jamarat yang terasa makin menyempit menjadi kenangan indah di belakang hari karena dijalani dengan perasaan yang campur aduk. Bagi sebagian jamaah, daerah perkemahan Mina begitu menakutkan karena lokasinya yang sempit dan fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) yang jauh dari cukup. Mereka tidak yakin bisa bertahan dan mabit sampai tiga hari mabit di Mina jika untuk ke toilet saja harus antri sekitar 10 sampai 30 menit (untuk laki-laki) atau,  konon, setengah sampai dua jam lebih (bagi jamaah perempuan). Kembali dan menginap di hotel Makkah lebih menggiurkan dibandingkan harus tidur bersusun bak ikan sarden di tenda-tenda Mina. Begitu juga dengan perjuangan ke Jamarat dan pada detik-detik melontar jumrah. Tidak jarang, rombongan Indonesia bertemu dengan jamaah negara lain dalam volume yang tergolong over capacity. Persis bak mobil padat-merayap dalam kemacetan parah di jalan tol, rombongan para jamaah harus berhenti beberapa kali dan hanya bergerak pelan dengan langkah yang panjangnya tidak lebih dari setengah telapak kaki. Begitu juga dengan melontar jumrah di Jamarat. Bagi yang tidak sabar dan tanpa strategi, dia bisa terjebak dalam kerumunan orang yang melemparkan kerikil ke arahnya (tidak jarang mengenai kepala). Bahkan, tidak tertutup kemungkinan bisa terjatuh dan terinjak jamaah lain.

Walau demikian, sekali lagi, patokan berhaji adalah apa yang dikerjakan Rasulullah SAW, bukan standar yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok jamaah. Sebagai seorang uswah (teladan) dan manusia terbaik dalam menghamba kepada Rabb-nya, ibadah haji Nabi Muhammad adalah timbangan bagi setiap Muslim. Ini wajib menjadi keyakinan utama dan mesti terpatri kuat di jiwa setiap yang berhaji. Ibadah haji bukanlah untuk membuat para jamaah menderita, rangkaian rukun dan wajib haji sangat jauh dari kegiatan bermain-main (seperti anak-anak yang lari-lari, main lempar-lemparan, berjalan memutar, dan sebagainya). Ibadah haji sangat padat dengan ritual sarat makna yang mengolah hati, menata pikiran, memantapkan keyakinan, dan melatih pisik seorang Mukmin sehingga tercetaknya pribadi yang tangguh dalam dan luar. Tidak ada satu ibadahpun yang lebih bertabur kebaikan melebihi ibadah haji. Itulah sebabnya kenapa perbekalan terbaik dalam melaksanakan haji adalah taqwa.

Kita terbang dengan sangat nyaman yang tanpa sadar pesawat rupanya sudah memasuki kawasan Saudi Arabia. Kita juga duduk dapat manis di bus ber-ac sambil serfa-selfi antara Makkah dan Madinah. Sementara Rasul? Beliau dan para sahabat harus duduk di punggung unta langsung di bawah langit selama berhari-hari untuk dapat menginjakkan kaki mereka di Makkah. Kita bisa istirahat di bawah naungan hotel berbintang-bintang atau di tenda-tenda dengan pendingin terkontrol. Sedangkan rombongan hamba-hamba Allah yang mulia itu? Mereka hanya berlindung dalam tenda-tenda sederhana dari sengatan matahari pada saat bumi Saudi yang masih sangat gersang. Kita disuguhi makanan tepat waktu dan melimpah di manapun berada. Adapun rombongan Nabi? Mereka mesti bersusah-payah mengisi penuh kantong-kantong air mereka pada Hari Tarwiyah untuk menghadang rasa haus selama masa Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Bahkan di Mina, di saat sebagian besar jamaah telah kembali ke Mekah kerena mereka mengambil skema nafal awwal, sebagian kecil yang masih tertinggal di sana tetap mendapatkan jatah makan, minum, buah-buahan dan sebagainya dengan volume yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Berlimpah. Jangan bayangkan Rasul menempuh jalur Mina ke Jamarat seperti sekarang ini, jalurnya diperpendek dengan terowongan-terowongan panjang dan besar serta suhunya disesuaikan dengan bantuan kipas-kipas raksasa. Hamba terbaik itu menelusuri jalur-jalur terjal dan panas di badan bukit-bukit berbatu. Semua kegetiran itu tidak pernah mengurangi volume dan kualitas zikir mereka kepada Allah, apalagi keluhan dan segala ungkapan ketidakbetahan lainnya.

Nabi dan seluruh sahabat yang ada dalam rombongannya datang ke Rumah Allah dengan penuh ketundukan, sebagaimana seorang pengabdi mendatangi Sang Tuan yang memanggilnya. Mereka thawaf mengelilingi Ka’bah dengan menghadirkan segenap kebesaran Allah dalam setiap langkah mereka. Sa’i dilaksanakan dengan penuh penghayatan sehingga merasakan beratnya perjuangan Hajar dalam mencarikan air untuk bayinya yang terus menjerit kehausan. Kondisi Padang Arafah yang kosong dan terik malahan semakin mempercepat mereka “menemukan” wajah Allah sehingga waktu dari Zhuhur sampai Maghrib tidaklah berlalu begitu saja kecuali diisi dengan munajat. Mereka tidak menjalani rute Mina ke Jamarat dengan keluhan dan pobia keramaian sekalipun jalur tersebut tanpa terowongan kokoh dan ditingkahi tempat-tempat air zamzam mudah dijangkau. Padahal mereka tidak berangkat ke Jamarat di malam hari yang sejuk dan penuh bintang, tapi di siang hari tepat setelah matahari tergelincir (ba’da zawal). Walau makanan dan minuman tidak selalu tersedia, apalagi dalam jumlah melimpah, Nabi dan sahabat tidak pernah kekurangan energi untuk menegakkan zikir di tengah-tengah jamaah dan diri masing-masing.

Rasul bersama beberapa sahabat, melaksanakan haji qiran, bukan haji tamattu’ seperti kita, sehingga tidak ada tahallul antara umrah dan haji. Beliau tetap memakai pakaian ihram, tentu saja dengan segenap larangannya. Hal tersebut mesti dilakoni sampai hari nahar (10 Zulhijjah) ketika pelontaran jumrah aqabah telah dilaksanakan. Nabi dan sahabatnya tidak merasa gerah dan terbatasi aktifitasnya dengan memakai dulu helai kain putih yang tidak berbentuk pakaian itu. Tidak seperti kebanyakan jamaah yang memaksakan diri dan terburu-buru menuntaskan ibadah umrah agar terbebas dari “kekangan” pakaian ihram. Ingin segera meninggalan pakaian banyak aturan ini. Padahal, pakaian serba putih ini malahan bisa semakin memicu semangat beribadah. Pada usia beliau yang sudah terbilang sepuh, 63 tahun, Nabi dan para sahabat memang datang ke Baitullah untuk memenuhi panggilan-Nya. Beliau menjadi tamu yang baik dan terhormat, tidak terlibat aktifitas apapun yang membuat tuan rumah merasa tidak nyaman. Itulah substansi haji yang dikerjakan Rasul. Adakah sesuatu yang lebih berharga dari apapun ketika seorang Muslim bisa jika bisa berhaji “bersama” Rasul? Mari standarkan haji kita pada haji kekasih-Nya ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *