PEMBALASAN

KLOTER KETUJUHBELAS

Bagian: Kedua Puluh Tiga

Oleh Zulkarnaini Diran

Antrean panjang pun terjadi. Ribuan orang antre menunggu angkutan. Jemaah yang hampir semalam atau setengah malam tinggal (mabit) di Muzdalifah, segera keluar dari lapangan menuju mobil yang akan mengangkutnya ke Minna. Mabit di Muzdalifah dan mengumpulkan kerikil untuk melontar di Jamarat adalah bagian dari prosesi haji. Saya dan istri termasuk di dalam antrean ketat, panjang, dan lama itu. Jemaah hanya dapat bergerak selangkah demi selangkah. Untuk menyelesaikan antrean lebih kurang 300 meter dapat menghabiskan waktu dua sampai tiga jam. Begitulah kondisi pagi 10 Zulhijjah di Muzdalifah.

Di dalam antrean itu berbaur jemaah dari berbagai negara dan dari berbagai kloter. Antrean Kloter Ketujuhbelas, Embarkasi Padang, berbaur dengan suadara seiman dari Kloter Solo, Kloter Kualanamu, dan kloter-kloter lain. Tentu saja di balik “pembauran” itu ada nilai-nilai islami dan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat ditangkap. Bahkan nilai karakter individu pun akan dapat dilihat di situ. Kesabaran benar-benar diuji di situ. Toleransi dan saling menolong juga tergambar di situ. Begitu juga nilai-nilai manusiawi lainnya.

“Ramah Lansia” adalah motto berhaji tahun 2024. Pengahayatan terhadap motto itu seyogyanya bukan hanya diperuntukkan bagi petugas haji, tetapi juga bagi semua jemaah haji. Begitu yang seharusnya. Akan tetapi, di dalam hidup, di dalam perjalanan kehidupan hal yang seharusnya bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan. Di situlah muncul masalah, yaitu terdapatnya kesenjangan antara ”yang seharusnya dengan kenyataan”. Saya dan jemaah lain dari Kloter Ketujuhbelas, ada, bahkan banyak yang berupaya untuk menghayati motto ”ramah lansia” ini. Pengahayatan itu diikuti dengan ”tindakan nyata” tentunya.

Ada delapan bus yang mengangkut jemaah kloter kami dari Arafah ke Muzdalifah. Petugas transportasi tidak lagi mengatur keberangkatan berdasarkan rombongan dan regu. Petugas hanya mengisyaratkan bahwa “ini bus pengangkut jemaah kloter ketujuhbelas”. Oleh karena itu terjadilah pembauran antar-rombongan di dalam bus. Hal itu pun akan terjadi di Muzdalifah. Begitulah kami berempat (saya Zulkarnaini, istri saya Wirnahayati, Zulheldi dan istrinya Reni) berada dalam satu mobil di samping jemaah lain. Ketika turun dari mobil kami terus berbarengan. Berjalan dari perhentian bus ke lapangan terbuka tempat mabit di Muzdalifah kami juga bersama-sama.

Kami mabit di Muzdalifah di atas satu tikar (karpet). Kami hanya berempat di tikar itu. Layaknya satu keluarga, kami makan malam bersama dan mencicipi kue-kue yang dibawa. Di samping karpet kami ada juga karpet orang berkebangsaan Norwegia, sementara pada bagian lain ada yang dari  Medan, dari Yogya, dan sebagainya. Kebersamaan kami berempat sepertinya sudah terjadi sedemikian rupa. Sejak keberangkatan dari Asrama Haji, Embarkasi Padang kelihatan itu telah terjadi. Itulah skneario Allah yang kita kadang-kadang sulit menangkap hikmah di balik itu.

Antrean panjang menuju bus angkutan ke Minna itu harus kami tembus. Begitulah kami mengatur satu baris agar tidak berbenturan dengan jemaah lain. Saya di depan, istri saya, Reni, dan Zulheldi di belakang. Pengaturan seperti itu kami rencanakan agar jangan ada yang memotong antrean kami di tengah dan di depan. Di kiri kanan kami juga ada jemaah lain yang membuat antrean seperti itu. Layaknya, pasukan ”pengungsi” yang berbaris sambil memanggul beban menuju tempat pengungsian. Itulah yang kami lakukan sejak Subuh, 10 Zulhijjah.

Di sebelah kanan kami ada jemaah Embarkasi Solo. Hampir semua jemaah berasal dari Klaten Jawa Tengah. Persis di samping saya ikut antrean seorang tua. Usianya jelas lauh lebih tua dari saya. Hal itu tercermin dari wajah dan geraknya dalam antrean. ”Ramah lansia”, motto itu yang membias ke nurani saya. Saya ajaklah ”Mbah” (sengaja tidak saya tuliskan nama) ini bibicara sambil antrean yang semakin padat dan jalan semakin melambat. Beliau berusia 87 tahun. Tidak ada pendamping dalam menuniakan ibadah. Orang-orang satu kloternyalah yang membantu pada saat dia membutuhkan.

Begitu perbincangan terjadi, kami (yang sama-sama lansia) mulai merasa akrab. Kami bercanda, berkelakar untuk menghilangkan kejenuhan selama antre. Sebegitu akrabnya, saya sempat menanyakan perihal istrinya. Spontan wajahnya berubah. Dia menagis. Memang seharusnya dia berangkat berhaji dengan istrinya. Akan tetapi Allah berkehendak lain. “Istri saya meninggal 150 hari yang lalu”, kata Mbah ini dengan berurai air mata. Dia benar-benar menangis. Rasa menyesal dan rasa bersalah saya muncul, kenapa saya harus menanyakan itu. Saya pun minta maaf kepada ”Mbah” ini. ”Ora opopo”, katanya dalam bahasa Jawa yang kental.

Penghayatan saya tentang ”ramah lansia”, seperti itu pula penghayatan Zulheldi (Doktor Ilmu Al-Alquran dan Tafsir, staf pengajar di UIN Imam Bonnjol, Padang) rupanya. Nurani kami sama-sama berkata, bahwa Mbah ini harus dibantu, sekurangnya sampai naik bus yang mengangkut ke Mina. Begitulah kami berdua terus memandunya dalam antrean padat, lambat, dan berdesakan. Hampir tiga jam mengantre, berjalan selangkah demi selangkah, barulah kami sampai ke gerbang tempat perhentian bus yang mngangkut jemaah ke Mina.

Zulheldi (yang kemudian dikatakan ”anakku”oleh istri saya) menyelesaikan tugas kami. Dia mengantarkan Mbah ini ke atas bus sampai ke tempat duduk. Untuk mengulurkan tangan dan menghayati arti ”ramah lansia” ini, kami harus membayarnya dengan ”ditinggalkan oleh bus” yang seharusnya kami tumpangi. Kami dapat mobil berikutnya, semenatara teman-teman sekloter telah berangkat dengan bus yang terdahulu. Bus yang kami tumpangi juga memutar-mutar mencari lokasi ”Makhtaf 100” tempat kloter kami dimukimkan. Konsekuensi logisnya adalah kami terlambat bahkan paling belakang sampai di lokasi Makhtaf 100 tempat kami berkemah di Mina.

Sampai di Mina, semua tenda penuh. Seorang sahabat satu Kloter, Afrizal Amir menyediakan dua tempat tidur untuk kami berdua (Zulheldi dan saya). Satu dari dua tempat itu diserobot oleh teman lain yang juga satu kloter. Akhirnya tinggal satu tempat untuk kami berdua. Zulheldi menawarkan kepada saya agar barang-barang diletakkan di tempat yang tersedia itu. Saat itu barang-barang kami (saya, istri, dan reni istri Zulheldi)  diletakkan di gang tenda tempat orang berlalu lalang. Artinya, saya dan istri, serta Reni tidak mendapat tempat di dalam tenda. Hal ini adalah akibat dari keterlambatan kami sampai di Mina.

Semua orang didera kelelahan. Termasuk saya (73 tahun) sangat lelah. Istri saya dan Reni mendapat tempat di perkemahan wanita. Teman wanita satu rombongan ternyata menyediakan tempat cadangan . Di situlah istri saya dan Reni (kemudian dipanggil menantu oleh istri saya) mendapat tempat beristirahat. Zulheldi, terus berkeliling mencari tempat-tempat di perkemahan kloter yang masih kosong, tetapi belum ditemukan. Dalam suasana itu saya benar-benar sangat lelah. Akhirnya saya mengambil tempat di dalam tenda laki-laki di antara kaki-kaki jemaah lain. Saya bentangkan matras di situ, sementara semua kaki jemaah lain mengarah ke tempat saya mengaso. Saya lihat banyak jemaah yang risih melihat saya mengambil tempat di situ, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena juga sangat lelah. Memang hanya itu tempat, tidak ada pilihan lain. Saya pun tidak merasa kecil hati dan tidak merasa ”hina” ada tempat itu. Apatah lagi, di Mina bukan untuk bersenang-senang, tetapi tempat ”menapaktilasi” prosesi berhaji yang dilakukan oleh Rasulullah bersama Sahabatnya.

Hampir dua jam saya mengaso di tempat itu. Saya hanya duduk dan menikmati makan “nasi kotak” dan buah-buahan yang ada di dalam tas bawaan. Saya tidak dapat merebahkan badan karena semua kaki dari kiri dan kanan mengarah ke tempat saya. Selain itu, tempat saya mengaso adalah jalan yang digunakan jemaah untuk bolak-balik. Saya mencoba ”menikmati” suasana itu. Benar-benar saya upayakan untuk menikmatinya. Dengan demikian batin saya tenteram, hati saya damai, dan saya pun terus “merefleksi” kejadian-kejadian sejak dari hotel, Arafah, Muzdalifah, dan sampai ke Mina.

Tengah menikmati suasana seperti itu, dua orang teman, jemaah dari Kota Payakumbuh menginformasikan bahwa mereka akan mengambil ”skema tanazul”. Mereka tidak menginap di Mina, tetapi kembali ke hotel. Hal itu dilegalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia dan diizinkan oleh Pemerintah Arab Saudi. Dengan demikian dua tempat akan kosong. Sahabat baik, jemaah dari kota Payakumbuh ini menawarkaan kepada saya untuk menempati tempat mereka berdua. Saya menyatakan terimakasih dan segera memindahkan barang bawaan ke tempat itu.

Bersamaan dengan itu, Dr. Zulheldi, Ketua Kloter Pak Okto, Pembimbing Ibadah Ustaz Syahroni mengiformasikan, bahwa tempat untuk saya sudah ada. Ada tenda yang tersedia tidak jauh dari kamar mandi dan kakus. Di situ juga Ketua Kloter, Pembimbing Ibadah, dan Dokter kloter bertempat tinggal. Saya pun menyatakan terimakasih untuk itu. Tentu saja bapak-bapak ini terus berupaya mencarikan tempat untuk saya atas penghayatan motto ”ramah lansia”. Saya memang termasuk lansia dalam kriteria jemaah haji. Alhamdulillah.

Usai salat Zuhur yang dijamak dengan Asyar, saya merenung. Saya merefleksi secara intens peristiwa demi peristiwa, kejadian demi kejadian yang saya alami mulai berangkat dari hotel sampai ke Mina. Saya mencoba ”menangkap makna dan hikmah” dari semua kejadian itu. Saya renungkan sungguh-sungguh. Betapa Allah menskenariokan kerja hati, kerja otak, dan kerja pisik manusia. Akhirnya semua skenario Allah itu berakhir pada ”hasil”. Itu yang saya tangkap. Simpulannya adalah setiap yang kita kerjakan akan mendapat balasan dari Allah. Jika kebaikan yang dikerjakan Allah memberikan hasil lebih dari yang dikerjakan, jika keburukan yang dilakukan, Allah hanya membalasi sebanyak keburukan itu.

Pembalasan yang saya terima yaitu mendapat tempat yang lebih layak, lebih bagus, dan lebih sempurna di tenda Mina, bisa jadi karena saya menghayati motto”ramah lansia” dan diirngi dengan tindakan. Di antaranya adalah membantu ”Mbah” dari Klaten dalam antrean sampai naik bus. Bantuan kecil itu ternyata berbuah jauh lebih baik, yaitu tempat yang menyenangkan di tenda Mina. Itulah di antaranya yang ditegaskan Allah di dalam QS Al-An’aam 6 : 160 ”Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”

Padang, 5 Agustus 2024

Saya dan Mbah dari Klaten di Muzdalifah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *