TA’LIM DI MUSHOLA HOTEL

(Bagian Kedua Puluh lima)

KLOTER KETUJUH BELAS

Oleh Zulkarnaini Diran

Ini cerita hari keenam di Makkah. Saya keluar dari kamar 1324 Hotel Romance Makkah. Seperti biasa jam-jam begitu saya istirahat di lobi hotel sambil membaca atau menulis. Tas tablet saya sandang di belakang. Di Lorong hotel lantai tigabelas itu ada beberapa orang jemaah perempuan sedang duduk-duduk menikmati makanan ringan sambil mengobrol. Ketika saya lewat mereka serempak menyapa saya. Ada yang memanggil saya bapak, ada yang buya, dan ada yang mamak. Panggilan akrab saya selama di Makkah memang familiar dengan yang tiga itu. Saya berhenti di tengah-tengah mereka. Pertanda saya merespon sapaan mereka dengan santun.

Satu dari ibu-ibu itu mulai berkalimat kepada saya. Mereka menyatakan mulai jenuh dan bosan. Lalu yang lain juga menyatakan itu bagaikan ”kurs” yang kompak, serempak. Hal itu terjadi karena tidak ada kegiatan yang dilakukan selama di hotel.  Padahal mereka baru delapan hari meninggalkan Padang. Jemaah yang berasal dari Kota Padang itu, rupanya juga menyampaikan hal yang sama kepada Ketua KBIHU At-Taqwa Sumatra Barat, Buya Amora Lubis. Buya Amora pernah mengontak  saya sambil memberikan saran. ”Kakanda, kalau mungkin upayakanlah kegiatan rutin untuk jemaah, khususnya yang berasal dari Kota Padang!” katanya lewat pesan WhatsApp.

Informasi dari ibu-ibu jemaah dan saran dari Buya Amora, menggelitik saya untuk berpikir dan merealisasikannya. Hal  itu saya sampaikan kepada dua orang ketua rombongan yang memimpin jemaah Kota Padang Kloter Ke-17. Masing-masing Dr. Zulheldi Hamzah, M.Ag Ketua Rombongan Satu dan Prof. Dr. Hafrijal Syandri, M.P. Ketua Rombongan Dua. Dalam perbincangan kami bertiga, dicari berbagai alternatif untuk mengisi kegiatan jemaah. Satu pilihan disepakati yakni pengajian atau taklim setiap hari. Kesepakatan itu dibawa ke dalam rapat para ketua regu. Akhirnya semua setuju untuk melakukan kegiatan. Tempatnya di musola hotel dan jadwaalnya pukul 14.00 sampai waktu Ashar WAS.

Untuk narasumber dalam ta’lim itu “didaulat” Usraz Dr. Zulheldi, M.Ag Ketua Romobongan Satu Kloter ke-17 Embarkasi Padang. Beliau selain menjadi staf pengajar Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir di UIN Imam Bonjol Padang, juga mubalig dan penceramah Agama yang sangat familiar dengan kaum muslimin Koata Padang. Oleh karena itu, beliau sangat kompeten untuk menjadi narasumber dalam ta’lim yang direncanakan. Materi yang dibahas adalah materi yang “kontekstual”, yakni sesuai dengan konteks prosesi haji di tanah Suci. Materinya meliputi semua rukun, waajib, dan sunnah haji. Ta’lim bukan hanya membahas hal-hal teoretis tentang prosesi haji, tetapi lebih menekankan hal-hal yang berhubungan dengan praktik dalam proses ibadah haji.

Metode ta’lim sempat kami diskusikan. Kata Ustaz Zulheldi, jika metode ceramah yang digunakan, jemah akan mengantuk. Apalagi kondisi jemaah yang  lelah karena cuaca dan pengaruh ruangan yang berpendingin. Akhirnya, metode yang digunakan dalam ta’lim itu adalah tanya jawab. Hari pertama memulai ta’lim, Ustaz Zulheldi meminta saya untuk mengaantarkan kegiatan. Dalam antaran itu saya sampaikan bahwa tujuan ta’lim ini adalah untuk memperdalam dan memantapkan hal-hal yang telah di dapat pada saat pelatihan manasik di Tanah Air. Kemudian juga saya ungkapkan bahwa kita diberi kebebasan bertanya sesuai dengan topik bahasan. Hal terakhir yang saya sampaikan bahwa kegiatan ini terselenggara atas kesepakatan ketua rombobongan satu dan dua dengan para ketua regu.

Di bawah bimbingan Ustaz Zulheldi, yang juga pernah menjadi Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPM),  Fakutas Tabiyah dan Keguruan, UIN Imam Bonjol ini, ta’lim yang diselenggarakan cukup menarik. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya jumlah peserta ta’lim dari hari ke hari. Bahkan ada yang berkomentar, bahwa ada hal yang tidak kunjung didapat di pelatihan manasik, ternyata di sini diperoleh. Komentar itu saya amini, karena saya juga ikut pelatihan manasik bersama mereka.

Ta’lim berlangsung setiap hari sampai satu hari menjelang ke berangkatan ke Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Kegiatan tetap mempertahankan metode, ”saji, tanya, dan solusi” (istilah yang saya pakai). Narasumber menyajikan dengan dasar dalil (Qur’an dan Sunnah), peserta bertanya sesuai topik bahasan,  narasumber menjawab secara tuntas sebagai solusi. Untuk menghindari kefakuman atau kekosongan dalam pertanyaan, sahabat saya Pak Afrizal Amir, yang memanggil saya “senior”, diminta untuk “getol” bertanya. Ternyata pertanyaan-pertanyaan Pak Afrizal cukup representatif bagi peserta. Hal itu bisa terjadi, karena sahabat saya yang sama-sama pernah menjadi Guru Bahasa dan Sastra Indoensia ini, sudah kali yang kedua menunaikan ibadah haji. Alhamdulillah, dengan cara seperti itu ta’lim menjadi hidup, menarik, bermanfaat, dan langsung dapat diterapkan untuk menunaikan rukun dan wajib haji.

Rasa bosan dan jenuh yang dirasakan oleh jemaah, khususnya dari Kota Padang, ternyata mengandung hikmah. Hikmahnya adalah lahirnya ta’lim atau pengajian di hotel sebagai upaya untuk memperdalam dan memantapkan hal-hal yang dipelajari dalam pelatihan manasik di Padang. Selain itu, Ustaz Dr. Zulheldi, M.Ag. dapat berkontribusi dan berbagi kepada para jemaah. Semoga hal ini menjadi amal saleh bagi doctor yang juga pernah menjadi Wakil Dekan Bidang Administrasi di fakultasnya. Hikmah lain yang mungkin tidak tereksplisit adalah terjalinya “ukhuwah islamiah” antarperserta ta’lim yang secara rutin hadir setiap hari di musala hotel itu. “Setiap kejadian ada hikmahnya, tergantung kita untuk menangkap dan mengukapnya,” begitu kata orang bijak.

Padang, 13 Agustus 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *