(bagian ke-26)
KLOTER KETUJUH BELAS
Oleh Zulkarnaini Diran
“Semoga ibadah Mamak dan Ibu di Tanah Suci lancar dan menjadi ‘haji mabrur’”, itulah ucapan yang saya terima dari sahabat dan rekan-rekan seiman melalui media sosial dan melalui WhatsApp. Ada dua hal yang saya tangkap dari ucapan itu. Kedua hal itu adalah proses dan hasil beribadah, khususnya ibadah haji – rukun Islam yang kelima. Ucapan itu menjadi renungan saya usai membacanya. Bahkan menjadi pertanyaan pula di dalam hati. Apakah proses berhaji yang saya lakukan telah memenuhi kaidah yang ditetapkan? Kemudian disusul pertanyaan berikut. Apakah hasil ibadah haji yang saya lakukan itu sesuai dengan harapan. Ya, proses dan hasil berhaji, itulah intinya.
Merenung setelah melakukan sesuatu sepertinya sangatlah diperlukan. Bahkan bukan untuk melakukan hal besar saja, usaikan melakukan hal kecil pun perlu direnungkan. Misalnya berkata-kata, berujar, menyampaikan sesuatu dan sejenisnya setelah dilakukan perlu direnungkan. Mungkin hal itu dapat menjadi alat atau instrumen evaluasi terhadap perilaku. Apakah kata-kata yang saya lontarkan tadi sudah memenuhi kaidah dan norma berkomunkasi? Apakah kata dan kalimat yang saya gunakan ada yang menyinggung dan menyayat perasaan pendengar? Begitu seterusnya sehingga memunculkan pertaanyaan-pertanyaan normatif dan adaptif yang jawabannya dapaat memperbaiki perilaku berbuat selanjutnya.
Kembali ke ibadah. Setiap ibadah ada targetnya. Target berarti berorientasi kepada hasil. Keberhasilan ibadah dapat dilihat dari hasil akhirnya. Salat misalnya, beriorientasi kepada ”mencegah berbuat keji dan mungkar” (QS Al-Ankabut, 29:45). Puasa menjadikan peibadahnya bertaqwa (QS Al-Baqarah, 2:183). Ibadah haji, orientasnya adalah haji mabrur. Target berhaji adalah peibadahnya mendapat haji mabrur. Banyak hadis yang melandasi hal itu. Begitu pula halnya dengan ibadah lain yang beriorientasi kepada hasil. Hasil itu adalah target yang kemudian menjadi indikator capaian. Ibadah dianggap berhasil jika capaiannya memenuhi indikator tersebut, itu kalau melihat ibadah dari segi hasil.
Ibadah selain dilihat dari hasil, juga perlu dilihat dari prosesnya. Haji mabrur selain berorientasi kepada hasil, juga berorinetasi kepada proses. Artinya, mabrur tidaknya haji seseorang juga dipengaruhi oleh prosesnya. Proses berhaji diatur oleh menurut syar’i. Ada kaidah-kaidah atau aturan yang harus dipenuhi atau dilaksanakan. Aturan itu meliputi rukun haji, wajib haji, sunah haji, dan hal-hal yang membatalkan serta mengurangi kualitas pahala haji. Semua tatanan aturan atau kaidah-kaidah itu ditetpkan berdasarkan Al-Quran, Sunnah, dan keputusan para ulama. Jadi, pelaksanaan ibadah haji yang beriorientasi kepada kaidah itu disebut berorientasi kepada proses. Hal ini menentukan mabrur tidaknya haji seseorang.
Apakah haji yang dilakukan mencapai haji mabrur? Jawanya adalah, haji dianggap mabrur manakala prosesnya benar, hasilnya memenuhi target. Proses terjadi pada saat pelaksanaan prosesi atau fase-fase berhaji, sedangkan hasil dapat dilihat pasca pelaksanaan ibadah rukun Islam kelima itu. Itulah yang kembali saya renungkan atas ucapan sahabat yang disampaikan kepada saya melalui pesan-pesannya yang saya kutip di atas.
Menurut Pendiri Pusat Studi Al-Quran (PSQ), Prof. Muhammad Quraish Shihab, mabrur berasal dari kata barra – yabarru, artinya tunduk, taat, atau menaati. Haji mabrur diperuntukkan bagi orang-orang yang mampu menepati janji. Janji seorang jemaah haji dilantunkan dengan suara nyaring sejak berpakaian ihram sampai pada hari Arafah. Lantunan itu pun dikumandangan secara bersama-sama atau sendiri dengaan irama yang menyentuh. Janji itu termaktub di dalam kalimat-kalimat ”talbiyah” (Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian dan nikmat adalah milik-Mu. Dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu)
Kalimat ”talbiyah” berisi ketundukan, ketaatan, dan kepatuhan hamba kepada Sang Khalik. Hal itu nyata di dalam setiap penggal kalimat tersebut. Substansi ketundukan dan ketaatan itu memiliki dua dimensi. Kedua dimensi itu adalah beribadah hanya kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama makhluk. Untuk mewujudkan kedua dimensi itu adalah dengan iman dan amal saleh. Jka haji mabrur berindikasi ketundukan dan kepatuhan, sedangkan ketundukan dan kepatuhan itu diwujudkan dengan iman dan amal saleh, maka iman dan amal saleh yang berkualitas adalah ciri khas haji mabrur. Orang yang mendapat haji mabrur adalah orang yang iman dan amal salehnya memiliki kualitas yang memadai.
Beribadah hanya kepada Allah, tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah. Jika mengibadahi selain Dia, hukumnya syirik. Syirik termasuk dosa besar, dosa yang tidak mendapat ampunan. Iman adalah landasannya dan ibadah adalah tindakan atau perbuatannya. Ibadah itu pun termasuk ke dalam amal saleh jika dilakukan dengan ketentuan syarak yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Rasul. Sangat banyak ditemukan di dalam Al-Quarn dua kata itu, iman dan amal saleh diurutkaan letaknya di dalam ayat. Kalimat itu ada yang memberitakan dan ada yang memerintahkan.
Berbuat baik sesama makhluk atau khususnya kepada manusia, bagian dari amal saleh. Hal itu merupakan dimensi kedua dari wujud ketundukan dan kepatuhan kepada Allah. Berbuat baik sesama makhluk dan kepada mansia itu merupakan perintah. Hal itu termasuk inti dari ajaran islam yakni ”hablum minanas”. Berbuat baik antarsesama merupakan termasuk indikator haji mabrur. Seprti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ”Para sahabat berkata, ’Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasul menjawab , memberi makan dan menebarkan kedamaian”. Hadis ini menyatakan hal tentang perbuatan seseorang yang berpredikat haji mabrur. Memberi makan dan menyebar kedamaian.
Sehubungan dengan itu, Ustaz M.Alvin Nur Choironi dalam artikelnya yang diterbitkan NU Online menyebutkan, setidaknya ada tiga ciri orang bisa dikatakan haji mabrur yakni: (1) Santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam); (2) Menebarkan kedamaian (ifsya’us salam) (3) Memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan orang lapar (ith‘amut tha‘am). Pendapat ini bertolak dari hadis lain yang berbunyi, “Rasulullah saw ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.’ Al-Hakim berkata bahwa hadits ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.” Menurut Ustadz Alvin, hadits itu memberikan pemahaman bahwa orang yang memperoleh predikat haji mabrur tidak hanya berdampak baik kepada dirinya sendiri, tapi juga dapat memberi efek besar terhadap masyarakat di lingkungannya.
Haji mabrur dapat dilihat dari dua sisi. Kedua sisi itu adalah proses dan hasil. Prosesnya dalah tahapan atau fase-fase yang dilaksanakan dalam berhaji. Fase itu diatur dan ditata berdasarkan rukun, wajib, dan sunah dalam berhaji yang dilaksanakan berdasarkan kaidah syar’i. Hasilnya akan akan terlihat seussai pelaksanaan prosesi haji. Hasil itu sendiri merupakan target capaian dalam beribadah, khsusunya ibadah haji. Intinya adalah, seseorang dianggap berpredikat haji mabrur apabila proses berhaji dilakukan dengan benar dan hasil berhaji berpengaruh kepada kesalehan spiritual dan kesalehan sosial. Kesalehan spiritual berhubungan dengan keulaitas ibadah kepada Allah, kesalahan sosial berwujud peduli kepada sesama dalam perbuatan atau amal saleh.
Jika hal itu menjadi indikator atau ciri haji mabrur, saya kembali merenung. Begitu hebatnya beban untuk menunaikan ibadah haji, mulai dari menunggu belasan tahun, menyediakan biaya, menyiapkan ilmu, menyiapkan kesehatan, dan sebagainya sudah dapat dilalui. Proses itu sudah saya lalui sesuai dengan kemampuan (istithoah). Akan tetapi yang teramat berat yang harus diperjuangkan terus-menerus bukan hanya proses berhaji, tetapi ”meningkatkan dan mempertahankan” kualitas kesalehan sipiritual dan kesalehan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Allah senantiasa membimbing hamba yang hina ini untuk mendapatkan predikat ”haji mabrur” seperti doa-doa yang dilantunkan para sahabat dan handaitolan melalui pesan langsung atau media sosial. Semoga!
Padang, 22 Agustus 2024