(bagian ke-16)
KLOTER KETUJUH BELAS
Oleh Zulkarnaini Diran
Sejak di hotel saya sudah terpisah dengan istri. Istri saya naik ke mobil satu, saya “terpaksa” menaiki mobil dua. Padahal pengurus Kloter sudah mengatur sedemikian rupa. Tiap rombongan, bahkan tiap personal telah ditentukan kenderaan yang akan mengangkutnya dari hotel ke Padang Arafah. Mereka yang berpasangan atau suami istri tidak boleh terpisah. Begitu regulasi yang dimuat di dalam grup WhatsApp Kloter Ketujuh Belas Embarkasi Padang. Akan tetapi, ketentuan itu tidak berjalan menurut semestinya, sehingga saya terpisah dengan istri menuju padang tempat pelaksanaan rukun haji itu, Padang Arafah.
Di atas bus saya membatin, saya merenung. Segala sesuatu pastilah ada hikmahnya. Allah tidak menjadikan sesuatu secara kebetulan, setiap kejadian ada makna dan kebaikan di baliknya. Perolehan hikmah atas kejadian itu sangat ditentukan ”kearifan” kita menangkapnya. Hikmah apa yang ada di balik semua ini? Saya mencoba meraba-raba makna di balik terpisahnya saya dengan istri menuju Arafah. Mungkin Allah mengingatkan, ”Beginilah yang dirasakan seorang hamba-Ku, terpisah dengan orang yang seharusnya mendampinginya menuju ”padang perampunan”– Arafah. Mungkin itu hikmahnya, saya hanya menduga-duga.
Ternyata tidak hanya saya yang terpisah dengan istri. Banyak jemaah yang tidak semobil dengan pasangannya. Hal itu saya ketahui ketika mereka berkomunikasi lewat telepon seluler. Bahkan ada yang terisak ketika menelpon. Kalimat yang keluar dari mulutnya bernada sedih. Saya memaklumi itu, memaklumi kecemasan mereka, sepertinya juga saya dilanda cemas. Kenapa tidak, semua jemaah menuju Arafah pada hari itu. Jutaan ummat di seluruh dunia akan berkumpul di Padang Arafah yang sangat luas itu. Andaikata tidak ada petunjuk, sulit dibayangkan menemukan istri atau suami di sana. Meskipun cemas, saya tidak berupaya menelpon ”anak mertua”, saya terus saja merenung dan membatin.
Dalam suasana membatin di bus yang mengangkut penumpang dari hotel ke Arafah itu, saya mengundang simpanan memori otak tentang Arafah: ”Padang Arafah menjadi tempat pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa. Nabi Adam saat diturunkan ke bumi berada di Pulau Sandip atau Srilangka dan Siti Hawa di Arabia. Setelah beberapa lama saling mencari, mereka dipertemukan di Padang Arafah. Hal itu ditulis Sayyed Hoseein Nasr dalam bukunya Macca the Blessed & Medina the Radiant”. Oleh pemeirntah Arab Saudi dibangun sebuah tugu di atas bukit di Arafah. Kemudian bukit itu dikenal dengan Jabbal Rahmah atau Bukit Kasih Sayang. Arafah menjadi bagian penting dalam sejarah pertemuan anak manusia pertama dengan pasangannya di bumi.” Kembali saya tersadar dari renungan. Nabi Adam ratusan tahun terpisah dengan Sitti Hawa, sementara saya hanya dalam hitungan jam. Wah…!!!
Sampai di Arafah, kami dipandu oleh petugas menuju tenda masing-masing. Saya di arahkan ke sebuah tenda yang berada di antara tenda-tenda lain. Ketika memasuki tenda itu saya lihat ada penghuni dari Kloter lain. Rupanya tenda jemaah Embarkasi Padang digabung dengan Embarkasi Solo. Begitu memasuki tenda saya lihat teman-teman sekloter telah mendapat tempat. Pertama yang saya cari adalah istri saya. Ternyata beberapa saat mata saya mengitari bentangan matras tenda, ternyata tidak terlihat. Beberara orang sahabat sekloter mengajak saya untuk beristirahat di tempatnya. Saya tidak menolak, tetapi juga tidak menerima, saya hanya tersenyum.
Ajakan para sahabat itu kemudian saya maknai lagi. Saya petik lagi hikmah darinya. Persahabatan hanya terjadi selama di Makkah, atau sekurang-kurangnya sejak berangkat dari Tanah Air. Atau lebih dari itu adalah sejak mengikuti pelatihan manasik di KBIHU. Persahabatan yang terbentuk dalam tempo singkat itu dapat menjadi “persaudaraan” yang amat kental. Mustahillah mereka mengajak saya dalam kondisi yang berdesakan, sempit, dan gerah jika di dalam kalbu mereka tidak ada rasa kebersamaan. Ternyata dalam situasi yang sekritis itu, persaudaraan atau ukhuwah islamiah yang amat kuat terlihat nyata. Itu makna minimal yang saya tangkap.
Sejenak saya tercenung. Saya duduk tanpa menurunkan ransel bawaan dari punggung. Saya buka HP Android yang saya miliki. Saya baca beberapa pesan masuk. Satu di antaranya dari Dr. Zulheldi, M.Ag ketua rombongan satu Kloter Ketujuh Belas, Embarkasi Padang. Isi pesannya sederhana, ”Tempat untuk Bapak telah kami sediakan!”, katanya di dalam pesan WhatsApp itu. Lokasi tendanya tidak disebutkan. Saya langsung berdiri dan keluar dari tenda gabungan ini. Seorang petugas Indonesia memandu saya menuju tenda Kloter Tujuhbelas, Embarkasi Padang. Begitu masuk, kelihatan sahabat sekloter dan di istri saya pun juga ada di situ, Alhamdulillah.
Jika ditelisik satu-persatu dengan jelimet, setiap kejadian di Arafah ada hikmah di baliknya, ada makna hidup dan kehidupan di situ. Di dalamnya terkandung nilai manusia dan kemanusiaan. Mustahillah seorang ketua rombongan satu akan menyisihkan tempat untuk saya yang bukan anggota rombonganya (saya rombongan dua), jika di nuraninya tidak terpatri nilai manusia dan kemanusiaan, nilai kasih sayang, nilai saling menghargai, dan nilai-nilai manusiawi lainnya. Hal itupun menggambarkan, Arafah juga menghidangkan rasa kasih sayang antar sesama, meskipun dalam keadaan yang sulit seperti berdesakan dan bersempit-sempit.
Makana dan hikmah dari kejadian atau peristiwa yang dialami bukan hanya terjadi di Arafah, dalam keseharian pun juga dapat terjadi. Cuma saja kita belumlah belajar menjadi orang arif untuk mengangkap makna dari suatu kejadian. Kita belum terbiasa dan belum terlatih menangkap ”aba-aba Allah” dari setiap kejadian yang dialami. Pada hal di dalam setiap kejadian itu ada pesan, ada pelajaran, ada hikmah yang berguna atau bermanfaat bagi kehidupan individu atau bermasyarakat. Menjadi arif untuk menangkap makna dari setiap kejadian dalam hidup dan kehidupan, memang perlu dilatih atau dibiasakan.
Andaikata kita terbiasa dan terlatih menambil hikmah dan menangkap makna daari setiap kejadian, dari peristiwa yang dialami, dan dari pengalaman sehari-hari, tentu kita akan sangat kaya dengan makna. Hidup itupun akan dipenuhi oleh hikmah dan makna yang melimpah. Dengan itu pula, kita akan dapat merasakan betapa Allah senantiasa ”mengendalikan dan memelihara” hamba-Nya melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi setiap hari. Di Padang Arafah banyak makna yang dapat ditangkap dan dalam keseharian pun tidak sepi dari makna dan hikmah itu. Tentu sangat tergantung kepada kejelian, kearifan, dan keterlatihan kita menangkap dan memberi makna terhadap suatu kejadian.
Padang, 27 Agustus 2024