Oleh Zulkarnaini Diran
Terkumpullah sejumlah uang. Uang itu hasil kerja hampir tiga bulan. Kerja dalam tradisi keterasingan yakni menyadap karet. Uang bagian dari hasil menyadap karet itu saya titipkan kepada ibu. Dia simpan baik-baik. Saya katakan kepada orang yang mulia ini, suatu saat mungkin tahun depan saya gunakan untuk melanjutkan sekolah. Tentu dengan izin dan ridha ibu dan bapak saya. Hal itu sangatlah tertanam dalam sanubari saya yaitu mengharapkan ridha keduanya. Bahwa “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orang tua dan kemurkaan Allah juga tergantung kepada kemurkaan kedua orang tua” sudah lama menjadi pegangan saya. Yah, tahun depan saya harus bersekolah.
Saya mulai menghitung-hitung hari. Tahun pelajaran berikutnya, tahun 1969 masih ada tenggang waku lebih kurang delapan bulan. Waktu yang tersedia masih dapat dimanfaatkan, terutama untuk mencari tambahan belanja sekolah. Dalam berpikir-pikir untuk mencari tambahan bekal itulah sesuatu terjadi. Hal ini pulalah yang membuat saya masuk ke SMA lebih awal, lebih cepat dari yang direncanakan.
Hari itu ada dua orang rantau pulang ke kampung. Beliau berdua sudah sangat lama tidak pulang. Kini mereka pulang dari rantau Jakarta. Keduanya adalah keluarga besar saya. Perantau pertama namanya Nusyirwan Maisin (kini telah tiada). Beliau mamak saya. Ibunya saudara kandung nenek saya. Di Minangkabau itu namanya mamak dakek (mamak dekat). Beliau menjadi pejabat di Departemen (kini: Kementerian) Agama Republik Indonesia, Jakarta. Perantau kedua adalah Damanhuri Mustafa (kini telah tiada). Beliau ini kakak sepupu saya. Nenek kami bersaudara kandung. Beliau, selain bekerja di Departemen Agama Republik Indonesia Jakarta, juga buka usaha sampingan sebagai pedagang.
Kehadiran kedua perantau ini mengubah rencana saya. Keduanya meminta saya untuk bersekolah pada tahun (tahun pelajaran 1968) itu juga. Mamak Nusyirwan memberi jaminan bahwa saya akan diterima di SMA 2 Payakumbuh di Limbanang. Jaminannya itu sangat mutlak dan penuh kepastian. Saya agak ragu menerimanya. Selain ada rencana saya untuk mencari biaya tambahan, tahun ini, lagi pula tahun belajaran sudah berjalan hampir tiga bulan.
Kakak saya Damanhuri Mustafa, rupanya membaca keraguan saya. Dia menegaskan bahwa untuk biaya masuk, pakaian sekolah, buku-buku, dan persiapan lainnya dia yang berkontribusi, dia yang menjamin. Mengenai keraguan saya untuk diterima di sekolah, beliau menjelaskan bahwa kepala SMA 2 Payakumbuh di Limbanang itu adalah teman dekat Mak Nusyirwan. Akhirnya saya menerima tawaran itu, meskipun kurang masuk akal. Apalagi masuk sekolah setelah tahun pelajaran berjalan hampir tiga bulan.
Begitulah dengan mulus saya melangkah ke SMA 2 Payakumbuh di Limbanang. Ada rasa bangga memang masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Setahu saya, sekenagarian Mahat, 50 Kota yang masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun ini hanya dua orang. Saya adalah satu di antaranya. Kebanggaan itu tentu tidak saya katakan kepada siapapun dan tidak pula saya ekspresikan dengan sifat sombong.
Sekolah adalah “sesuatu yang mahal” di kampung kelahiran. Mahal bagi para orang tua dan masyarakat. Orang yang dapat bersekolah adalah mereka yang berekonomi agak bagus dan berpikir agak maju. Dua hal itu yang tupang-menupang. Jika keduanya dimiliki oleh keluarga anak-anak dalam keluarga itu dapat bersekolah. Ada keluarga, ekonominya agak bagus tetapi berpikirnya tidak maju, anak-anaknya tidak akan bersekolah. Ada keluarga yang berpikirnya maju tetapi ekonomi kurang bagus, anak-anaknya ada yang bersekolah dan ada yang tidak. Saya termasuk ke dalam kelompok yang terakhir ini, yakni ekonomi kurang bagus tetapi pikiran keluarga besar maju.
Di dalam keluarga besar kami, keluarga Malayu Mudiak di bawah payung Dt. Ruhum ada satu orang yang berpikiran sangat maju. Konsep berpikiran maju ini terindikasi dengan keingian untuk mengubah keadaan melalui pendidikan. Dia adalah Hasan Basri, mamak saya, kakak dari Nusyirwan yang berpikir bahwa pendidikanlah yang dapat mengubah hidup dan kehidupan seseorang. Baginya, sekolah adalah hal yang sangat penting. Jika disejajarkan orang kaya dengan orang berilmu, derajat orang berilmu jauh lebih tinggi dari orang kaya. Oleh karena itu, sekolah adalah sesuatu yang mahapenting.
Saya dapat mengatakan bahwa “pikiran dan ucapan” mamak Hasan Basri (kemudian menjadi mertua saya) inilah yang yang banyak memotivasi keluarga-keluarga di kampung kelahiran mau berkorban menyekolahkan anak-anaknya. Termasuk di dalam keluarga besar kami, ada dua yang bersekolah yakni Nusyirwan Maisin (adik kandung Hasan Basri) dan Damanhuri Mustafa (kemenakan) Hasan Basri. Keduanya bersekolah dan kemudian menjadi pegawai negeri di Departemen Agam RI, Jakarta bisa jadi karena pengaruh pikiran maju Hasan Basri ini.
Begitulah saya menyimpan kebanggaan menjadi siswa SMA Negeri 2 Payakumbuh di Limbanang. Dari satu sisi normatif ada kebanggaan, tetapi dari sisi teknis ada kegamangan. Mengapa tidak? Ketika saya diterima dengan mulus di sekolah ini, proses pembelajaran telah berjalan hampir satu caturwulan (waktu itu sekolah menggunakan sistem caturwulan atau menerima rapor tiga kali setahun). Teman-teman telah belajar hampir tiga bulan, sementara saya baru masuk. Bahkan hari pertama saya masuk kelas, langsung mengikuti ujian caturwulan.
Masih terlukis di memori saya. Hari itu hari Selasa. Saya diantar oleh seorang guru, Ibu Efni masuk kelas. Begitu saya diperkenalkan kepada teman-teman, saya dipersilakan duduk di deret paling belakang. Ibu Efni meninggalkan ruangan dan seorang guru laki-laki masuk kelas. Saya ketahui kemudian namanya Pasni Djadid, guru mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam. Usai mengucapkan salam dan membuka pelajaran, Pak Pasni meminta kami untuk menyediakan kertas selembar. Ujian mata pelajaran Agama Islam.
Betapa kagetnya saya. Belum pernah belajar, hari pertama masuk kelas, langsung ujian. Kekagetan itu semakin terasa ketika Pak Pasni menanyakan perihal saya. Saya jelaskan bahwa saya baru masuk hari ini. Beliau tidak menanyakan lagi mengapa terlambat. Kelihatan guru yang santun ini maklum, bahwa saat itu biasa kalau siswa terlambat mendaftar ke sekolah karena berbagai masalah.
Soal ujian didiktekan oleh Pak Pasni. Ada lima soal berbentuk esai yang diberikan. Pertanyaan yang ada di soal itu, selain memerlukan jawaban konseptual, juga memerlukan jawaban penalaran. Saya memahami soalnya satu-persatu. Saya menjawabnya tanpa hamabatan. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa saya bisa menjawab. Fasalnya, apa yang ditanyakan itu sudah dipelajari ketika di SMP dulu. Bahkan ada yang dipelajari ketika mengikuti didikan subuh di SMP Kototinggi tahun yang lalu.
Kegamangan saya terjawab esok harinya. Jawabannya sangatlah mengejutkan. Pagi-pagi sekali ketua kelas membagikan lembar ujian. Di situ lagsung tertera nilai perolehan. Ketua kelas membagikan masing-masing tiga lembar kertas. Kecuali saya, hanya satu lembar yakni ujian agama Islam. Saya amati lembar ujian itu. Wah, luar biasa. Saya mendapat nilai tujuh. Yah, angka tujuh tertera di lembar itu. Muncul di dalam diri saya kebanggaan atas kemampuan yang dimiliki. Belum pernah belajar, ikut ujian, nilainya tujuh. Jika saya belajar dari awal tentu nilainya akan lebih baik dari itu.
SMA 2 Payakumbuh di Limbanang (kini: SMA 1 Suliki, 50 Kota) ini adalah sekolah baru. Mulai dibuka tahun pelajaran 1968 -1969. Penerimaan siswa pertama bulan Januari tahun itu. Mulanya sekolah ini ada di Payakumbuh, disebut SMA 2 Payakumbuh atau dikenal dengan SMA sore. Atas inisiatif pemuka masyarakat di Kecamatan Guguak dan kecamatan Suliki Gunung Emas, dibangunlah gedung di Limbanang. Atas persetujuan pemerintah, sekolah ini tetap bernama SMA 2 Payakumbuh, tetapi lokasinya di Limbanang. Oleh karena itu, lazim disebut orang sampai kini SMA Limbanang.
Gedung pertamanya sangat sederhana. Boleh jadi disebut gedung darurat. Bangunannya semi permanen. Dindingnya dari jalinan bambu atau sasak. Lantainya dari semen coran biasa. Bangunan itu berdiri atas swadaya masyarakat dan sumbangan orang tua siswa Kecamatan Guguak dan Kesamatan Suliki Gunung Emas. Mewakili Kepala sekolah saat itu adalah Bustami Dt. Bijo Angso. Gedung pertama itu kini dipakai oleh SMP 2 Suliki. Sedangkan gedung yang digunakan sekarang (SMA 1 Suliki) dulunya gedung SMP dan sebelumnya adalah gedung Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP).
Hari pertama dan hari-hari berikutnya saya lalui di SMA ini. Suka – duka, manis – pahit, gembira – sedih, dan sejenisnya saya jalani dengan sabar dan tabah. Ketika hari pertama saya mengikuti ujian Agama Islam, hasilnya angka tujuh. Saya benar-benar merasa sangat berbagahagia. Akan tetapi hari-hari ujian berikutnya saya tak berkutik, bahkan saya nyaris putus asa. Rasanya, kalau tidak dibentengi oleh keinginan yang mendalam untuk bersekolah, saya telah meninggalkan sekolah itu lebih awal. Benteng saya satu-satunya adalah “keinginan yang mendalam” untuk mendapatkan ijazah SMA.
Puncak dari kekhawatiran saya adalah ketika menerima rapor (laporan hasil belajar) caturwulan pertama. Ketika itu yang harus menerima rapor adalah orang tua. Kalau tidak ada orang tua, rapor tidak dibagikan. Orang tua saya tidak bisa dan tidak mungkin hadir di sekolah. Selain jarak antara kampung kelahiran dengan Limbanang hampir 18 km yang harus ditempuh dengan berjalan kaki, orang tua saya harus bekerja di sawah. Itulah sebabnya keduanya tidak bisa hadir menjeput rapor saya.
Adalah Syahrial Syarif, B.A. asisten dosen di IKIP Padang, bermurah hati mengambilkan rapor saya. Hal itu pun secara kebetulan. Mbo Syahrial (begitu saya memanggilnya) datang bertamu ke SMA. Beliau bermaksud menemui temannya Ibu Dalisma, B.A. (guru bahasa Inggris dan wali kelas saya). Antara Mbo Syahrial dengan Ibu Dalisma ada hubungan pertemanan sajak di SMP dulu. Untuk pertemuan itulah beliau datang ke sekolah saya. Ketika melihat Mbo Syahrial, saya gembira karena saya akan minta tolong untuk mengambilkan rapor. Sebelum beliau masuk ke ruang guru, saya sudah membisikkan bahwa wali kelas saya adalah ibu Dalisma.
Alhamdulillah, rapor saya dapat diterima. Akan tetapi bertapa kecewanya saya, dari sekian mata pelajaran hanya tiga mata pelajaran saja yang berwarna hitam yaitu Agama Islam, Bahasa Indonesia, dan Civic. Selebihnya bewarna merah. Kalau saja Mbo Syahrial tidak menghalangi, hampir saya robek rapor itu di hadapannya dan di hadapan wali kelas saya Ibu Dalisma (kini telah tiada). Inilah saat-saat kritis saya. Inilah perjuangan emosi yang paling berat. Sampai kini terasa, betapa uluran tangan Mbo Syahrial benar-benar menyelamatkan kelanjutan pendidikan saya di sekolah ini. Tidak terbayangkan, jika rapor sempat saya robek, saya pasti mendapat hukuman dari sekolah. Tentu saya tidak dapat belajar lagi di sekolah ini.
Saya dengan Mbo Syahrial masih punya hubungan. Bapak kami bersaudara satu suku, sama-sama suku Domo. Hubungan kekerabatan antara bapak saya dan bapak Mbo Syahrial masih dekat. Hal yang paling mendekatkan lagi adalah hubungan emosionalnya. Ketika di kampung mereka saling mengunjungi, saling berbagi, dan saling mencurahkan isi hati. Hubungan emosional itu pulalah yang saya lanjutkan. Sejak saya di SMP, mbo Syahrial kuliah di IKIP, hubungan itu telah terjalin. Kalau berlibur di kampung saya selalu berkomunikasi dengan beliau. Saya sangat menghormatinya dan mbo Syahrial sangat memperhatikan saya.
Kini, Drs. Syahrial Syarif, B.A. telah tiada. Semoga semua amal ibadah dan semua kebaikannya diterima oleh Allah sebagai amal saleh, amin ya Robbal alamin. Beliau ketika meninggal adalah pensiunan sataf pengajar atau dosen IKIP Padang (kini: UNP).