Oleh Zulkarnaini Diran
Anak menempati posisi penting dalam kehidupan keluarga. Setiap pernikahan pastilah merindukan kehadiran tangis bayi. Orang tua, ayah-bunda akan selalu berusaha dan berdoa untuk memperoleh anak. Upaya manusia yang diiringi dengan doa, dikabulkan oleh Allah SWT pada waktunya. Bahkan kadang -kadang Allah menangguhkan doa itu untuk waktu yang lama dan pada saat tertentu usaha dan doa itu dikabulkan-Nya. Menjadi rahasia Allahlah jika keluarga cepat dan lambat mendapat anak, bahkan ada yang tidak diberi-Nya sama sekali. Semua itu tentu ada hikmahnya. Akan tetapi yang jelas dan pasti, setiap keluarga merindukan kehadiran anak di dalamnya.
Al-Quran, Kitab Suci umat Islam menginformasikan. Ada empat kedudukan anak di dalam keluarga. Keempat kedudukan atau posisi itu adalah anak sebagai penyejuk, anak sebagai perhiasan, anak sebagai ujian, dan anak sebagai musuh. Oleh para pakar pendidikan dan para ulama diberikanlah saran-saran agar anak jangan sampai menempati posisi ketiga dan keempat di dalam keluarga. Saran atau pendapat itu dapat ditemukan di berbagai sumber atau literatur keagamaan, pendidikan, dan psikologi.
Anak sebagai penyejuk/ penyenang hati dan penyejuk jiwa dicantumkan Allah di dalam Al-Quran Surat Al-Furqan (25):4, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. Ayat ini jelas memberi gambaran dalam sebuah doa, bahwa setiap muslim berdoa untuk mendapatkan ”penyejuk jiwa dan menyenang hati” yaitu keturunan atau anak-anak. Hal ini merupakan informasi dan sekaligus peringatan dari kitabullah bahwa anak hendaklah menjadi ”penyejuk dan penyenang” bagi suatu keluarga.
Anak sebagai perhiasan dicantumkan di dalam Surat Al-Kahfi (18):46, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” Anak adalah perhiasan di dunia, posisinya disejajarkan dengan harta. Akan tetapi, dalam konteks kepuasan suatu keluarga, anak lebih utama keberadaannya. Ayat ini selain memberikan informasi, juga merupakan peringatan atau aba-aba dari Allah, bahwa anak ”hanyalah perhiasan dunia”.
Anak sebagai ujian atau fitnah dinayatakan di dalam Alquran Surat At-Taghabun (64):15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan, ujian, fitnah (bagimu), dan di sisi Allahlah pahala yang besar.” Jika pada kutipan pertama dan kedua, keberadaan anak adalah untuk menyejukkan dan pakaian (perhiasan), maka pada yang ketiga ini malah berkonotasi negatif, yakni cobaan, ujian, dan atau fitnah bagi keluarga. Informasi ini pun tetap memberikan peringatan kepada ayah-bunda atau keluarga tentang keberadaan atau posisi anak.
Anak sebagai musuh termaktub di dalam Surat At-Taghabun :14, (64), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” Informasi dan peringatan lebih tegas dalam ayat ini. ”Berhati-hatilah terhadap mereka….” Tentu hal itu perlu disikap oleh ayah-bunda dalam keluarga.
Anak-anak dirindukan kehadirannya di dalam keluarga. Sementara itu Allah melalui Al-Quran memberikan informasi dan sekaligus peringatan bahwa anak adalah menyejuk jiwa, perhiasan di dunia, fitnah atau ujian dalam kehidupan, dan musuh bagi kedua orang tua. Hal yang paling mendasar yang perlu dipikirkan oleh keluarga atau ayah-bunda adalah keberadaan anak yang ketiga dan keempat. Artinya, kemungkinan upaya yang dapat ditempuh agar anak tidak menjadi fitnah atau ujian dan tidak menjadi musuh. Jawabannya hanya satu, anak dibekali dengan “pendidikan yang benar”.
Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang terstruktur. Pendidikan terstruktur itu adalah pendidikan yang landasan dan orientasinya jelas. Landasan adalah dasar atau basis operasional Pendidikan. Landasan juga pijakan atau tempat bertumpunya pelaksanaan pendidikan itu. Landasan itu harus jelas dan tegas. Kejelasan dan ketegasan itu adalah untuk menghindari makna ganda atau multi makna. Landasan juga sebagai basis pelaksanaan pendidikan. Jadi pendidikan yang benar adalah pendidikan yang memiliki landasan, pijakan, dan basis yang jelas dan tegas.
Orientasi pendidikan ”pastilah” sikap. Benyamin Bloom merumuskan tiga ranah yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif dioptimalkan dengan pengajaran, ranah psikomotor diasah dengan pelatihan, dan ranah afektif atau sikap disempurnakan dengan pendidikan. Jadi, ranah kognitif berkaitan dengan olah pikir, ranah psikomotor berhubungan dengan olah pisik, dan ranah afektif berorientasi ke olah hati dan olah rasa. Rohnya adalah ”menyempurnakan” akhlak. Jadi orientasi pendidikan adalah akhlak, perilaku, sikap, dan atau karakter. Jika ketiganya dikombinasikan maka ia akan masuk ke dalam rumusan kompotensi. Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ”kompetensi adalah perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, sikap atau nilai-nilai dasar yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak”. Inilah orientasi pendidikan.
Beberapa dekade terakhir berkembang pendidikan berbasis fitrah (Fitrah Based Education). Basisnya adalah fitrah yang dimiliki anak. Setiap anak lahir dengan fitrahnya. Dia telah memiliki bekal sejak dari rahim. Bekal itu adalah fitrah. Anak lahir bukan dalam keadaan hampa atau kosong, tetapi sudah berisi fitrah. Fitrah itu adalah karunia Allah yang luarbiasa. Allah mengaruniakannya kepada setiap insan yang lahir. Jadi, landasan, dasar, basis, tumpuan pendidikan menurut pandangan ini adalah fitrah yang dibawa insan sejak lahir.
Secara umum ada dua fitrah bawaan anak dari rahim. Kedua fitrah itu adalah fitrah generik atau umum dan fitrah unik atau khas. Setiap anak yang lahir memiliki dan membawa fitrah itu dari rahim bundanya. Fitrah generik atau umum dimiliki sama oleh setiap insan yang dilahirkan. Misalnya fitrah ketuhanan, itu sudah dimiliki sejak lahir. Hal itu termaktub dalam QS Al-A’raf ayat 172, ”….Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, ”Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” Setiap manusia yang lahir telah memiliki fitrah ketuhanan atau mereka yang lahir telah bertauhid dan mengesakan Allah. Itulah contoh fitrah yang bersifat umum atau generik.
Fitrah unik atau fitrah khas atau khusus yang berbeda untuk setiap orang. Di sinilah kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Anak yang lahir dari ibu yang sama dan kembar, akan memiliki fitrah unik yang berbeda. Fitrah unik ini adalah kehkhasan yang dimiliki setiap anak sejak lahir. Dalam hidupnya kelak, ia akan berbahagia dalam segala dimensi. Mereka berbahagia dengan profesi yang digelutinya, berbahagia dengan pekerjaan dan penghasilan yang diterimanya, jika fitrah unik ini yang menjadi landasan masa depannya.
Secara umum inilah tugas pendidikan, yaitu menumbuhkembangkan kedua fitrah itu. Begitu anak lahir, fitrah itu belum terlihat “kasatmata atau kasatrasa”, tetapi dia sudah ada. Dalam ayoman dan asuhan ayah-bunda kedua fitrah itulah yang dirawat, ditumbuhkembangkan, dan dioptimalkan. Di sinilah letaknya tiga dimensi pendidikan Islam yakni “tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim”. Ketiga dimensi pendidikan itu bisa jadi secara operasional berjalan seiring san serempak, tetapi secara dikotomus dalam kajian akademis, ia memiliki fungsi yang berbeda-beda.
Banyak pekerjaan yang harus dilakukan ayah-bunda dalam dimensi tarbiyah. Di antaranya adalah mengenal, mendeteksi, dan menginventarisasi fitrah-fitrah yang dimiliki anak, terutama ”fitrah unik” bawaannya. Artinya, ayah-bunda sudah mengenal fitrah unik setiap anaknya sejak dini. Fitrah ini, seperti diungkapkan di atas, kadang-kadang dapat terdeteksi secara eksplisit, kadang-kadang memang perlu waktu untuk mengamati dan mengidentifikasinya. Jika di dalam tarbiyah hal ini dapat dilakukan ayah-bunda, berarti dia telah memiliki landasar dasar untuk dimensi selanjutnya. Tentu saja, setiap ayah-bunda memerlukan bekal untuk mendeteksi, mengenali, dan mengidentifikasi fitrah-fitrah anaknya.
Di dalam dimensi ta’dib, hal yang harus dilakukan ayah-buda adalah menumbuh-kembangkan “adab” dalam keseharian anak. Adab, akhlah, perilaku, karakter bisa dianggap sama secara awam. Akan tetapi, secara akademik itu bisa dibedakan. Untuk menumbuhkembangkan adab, diperlukan kearifan sesuai dengan fase perkembangan usia anak. Pada fase awal, anak-anak hanya memerlukan contoh tentang aplikasi adab atau akhlak. Penerapannya terlihat sehari-hari di dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan dalam penerapan adab dan akhlah menjadi hal inti dalam menumbuh-kembangkannya.
Dalam konteks menumbuh-kembangkan adab, ayah-bunda mencontohkan, bukan memberikan contoh. Mencontohkan berarti ayah-bunda menjadi model inplementasi adab terhadap anak-anaknya. Kalau memberikan contoh, mungkin diambil dari model dari luar keluarga. Untuk tampil sebagai model dalam penerapan adab, tentulah ayah-bunda memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk menampilkan adab kepada anak-anaknya.
Dimensi ketiga pendidikan dalam Islam adalah “ta’lim”. Ta’lim orientasinya adalah pengetahuan dan atau ilmu. Pada fase awal, pengetahuan dan ilmu disajikan kepada anak-anak dalam bentuk yang konkret, bukan dalam bentuk abstrak. Artinya, anak-anak untuk mendapatkan pengetahuan atau ilmu, hendaklah terlibat langsung dalam prosesnya. Anak mengalami sendiri dan melakukan sendiri dalam mendapatkan pengetahuan atau ilmu itu. Hal ini berhubungan dengan konsep bahwa belajar adalah ”mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, mengubah pengetahuan menjadi pemahaman, mengubah pemahaman menjadi kearifan, dan mengubah kearifan menjadi tindakan.”
Jadi, operasional ta’lim dalam pendididikan adalah pemerolehan pengetahuan dan ilmu melalui keterlibatan anak-anak dalam proses. Anak langsung melakukan, mencobakan, dan berbuat. Hal ini pernah diungkapkan oleh Compusius sekitar 2500 tahun yang silam. Ungkapannya, “saya dengar, saya lupa, saya lihat, saya ingat sedikit, saya lakukan, saya mengerti dan saya bisa”. Keterlibatan anak dalam pemerolehan pengetahuan dan ilmu berdampak kepada dirinya, yaitu “mengerti dan bisa”. Keterlibatan itu pula menjangkau segala aspek pada diri anak yakni terlibat lahir dan batin, pikiran, perasaan, dan emosi. Hal inilah yang dilakukan ayah-bunda di dalam ta’lim.
Jadi, anak adalah harapan. Pemberian bekal hidup dan kehidupan kepada anak dilakukan sejak dini melalui pendidikan keluarga. Pendidikan ada basisnya, di antaranya adalah fitrah (fitrah based education) bawaan anak. Fitrah itulah yang ditumbuhkembangkan oleh ayah-bunda. Untuk menumbuhkembangkan itu, ayah-bunda menjadikan keluarga sebagai “madrasah pertama dan utama”. Di madrasah itu terjadi proses pendidikan yakni tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim. Untuk itu ayah-bunda perlu memiliki bekal dalam mengelola “madrasah pertama dan utama”itu. Semuanya itu adalah investasi dunia dan akhirat. Tentu saja hal itu termasuk untuk ”menangkal” agar anak jangan sekedar penyejuk, jangan sekedar perhiasan, jangan menjadi fitnah, dan jangan menjadi musuh bagi ayah-bunda, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan agama.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.
Manna, Bengkulu Selatan, 13 November 2023