Oleh Zulkarnaini Diran
(Praktisi, Pemerhati, dan Trainer Pendidikan)
Pada akhir semester atau akhir tahun pelajaran orang tua selalu bertanya tentang ”rengking” anak di sekolah. “Dapat rengking berapa, Kamu?” pertanyaan itu selalu terlontar dari mulut kedua orang tua. Anak kadang-kadang risih menjawabnya. Apatah lagi anak yang tidak masuk ke dalam reng satu sampai sepuluh. Akhirnya dia diam dan berlalu saja dari pertanyaan kedua orang tua itu. Anak yang prestasinya memadai dan selalu mendapat apresiasi dari kedua orang, tanpa ditanyapun dia akan melapor sendiri. ”Pa, Ma, tahun ini rengking saya naik dari tiga menjadi satu, jangan lupa hadiahnya ya, Pa, Ma”, itu yang terlontar dari mulut anak sambil memperlihatkan dokumen hasil belajarnya kepada kedua orang tua.
Ada tiga hal yang dapat diamati dari deskripsi ilustrasi di atas. Pertama, kedua orang tua ”sangat peduli” terhadap prestasi akademik anak di sekolah. Kedua, anak yang tidak mendapat prestasi terbaik, mengabaikan pertanyaan orang tuanya, dan berlalu dari situ. Ketiga, anak yang prestasinya meningkat, tanpa ditanya melaporkan sendiri prestasi akademiknya dengan diiringi harapan ”mendapat hadiah” atas prestasi itu. Ketiga hasil pengamatan itu terlihat sebagai sesuatu yang lumrah, kejadian biasa, karena memang hal itu selalu dialami dan terjadi di dalam satu keluarga. Adakah yang salah di situ? Tidak ada yang salah.
Mungkin tiga kata yang cocok yang perlu dimaknai dalam mendidik anak berdasarkan pengamatan terhadap ilustrasi itu. Ketiga kata tersebut adalah peduli, abai, harap. Orang tua bertanya kepada anak atas kepeduliannya. Peduli terhadap kemajuan belajar anak, perestasi anak, dan hal lain yang menyangkut dengan variabel prestasi belajar. Kepedulian itu mendorong kedua orang tua untuk melontarkan pertanyaan rutin yang berlangsung setiap semester atau setiap akhir tahun. Pertanyaan seperti itu menyangkut dengan produk belajar atau hasil dari suatu proses belajar selama satu semester atau selama satu tahun. Kepedulian pada akhir semester dan akhir tahun hanyalah ”peduli kepada produk atau hasil”.
Dr. Ghadah Hasyad, “Konselor Pengasuhan dan Pendidikan Anak” mengatakan, “Sampaikan kepada anak apa yang Anda inginkan darinya pada masa mendatang!” Selanjutnya dia berpesan kepada kedua orang tua, ”Jadikan kata-kata dan ungkapan Anda terhadap anak Anda sebagai kata-kata dan ungkapan yang positif!” Ketika orang tua bertanya tentang rengking anak, dia menanyakan produk atau hasil. Hasil atau produk ditanya pada akhir kegiatan. Pertanyaan yang muncul adalah, “Apakah kedua orang tua menyampaikan kepada anak pada awal semester atau pada awal tahun keinginannya terhadap anak seperti yang disarankan “keonselor” ini dengan ungkapan positif? “Papa dan mama ingin rengking Kamu meningkat pada akhir semester atau akhir tahun nanti. Untuk itu tentu Kamu perlu meningkatkan aktifitas belajarmu lebih baik!” Jika kalimat itu dilontarkan pada awal semester dan awal tahun, kedua orang tua tidak hanya ”peduli kepada produk” tetapi juga ”peduli kepada proses”. Di sinilah letak kuncinya.
Orang tua boleh dan sangat dianjurkan ”peduli” kepada ”prestasi anak”, tetapi dianjurkan untuk peduli kepada awal, proses, dan hasil. Jika hanya peduli kepada hasil belaka akan menimbulkan dampak psikologis kepada anak. Hal itulah yang terjadi pada kata kedua yakni ”abai”. Anak mengabaikan pertanyaan orang tuanya, kemudian di berlalu tanpa pamit, tanpa permisi. Hal ini tidak lagi berada di dalam dimensi prestasi akademik, tetapi sudah berada di dalam ”ranah moral atau sikap” tehadap kedua orang tua dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Jika anak-anak terbiasa dengan sikap ”abai” dalam kesehariannya, akan menimbulkan dampak kurang bagus dalam kehidupannya pada masa yang akan datang.
Anak kedua dalam ilustrasi di atas lebih reaksioner. Sebelum kedua orang tuanya bertanya, dia telah memberi jawaban. Di ujung jawabannya dia menegaskan, “Jangan lupa hadiahnya Pa, Ma!” Tentu, hadiah yang ditagih anak adalah hadiah yang telah ”dijanjikan” pada awal semester atau pada awal tahun pelajaran. Dapat diduga ungkapan orang tua, ”Jika rengkingmu naik dari yang biasa, papa dan mama akan memberikan hadiah ….”, itu barangkali yang dilontarkan oleh kedua orang tua kepada anak. Orang tua menganaggap hal itu adalah motivasi luarbiasa sehingga anak benar-benar mewujudkan ”kepedulian” orang tua yakni ”prestasi yang meningkat”.
Ada kehkawatiran para pakar pendidikan jika orang tua hanya peduli kepada hasil. Kekhawatiran itu didukung oleh berbagai penelitian dalam berbagai populasi dan sampel serta di berbagai tempat. Orang tua yang hanya peduli kepada hasil belajar, dan abai kepada awal dan proses belajar, membuat anak “berspekulasi”. Spekulasinya ialah mencari dan berupaya mendapatkan jalan pintas untuk berprestasi. Artinya, anak membenarkan segala cara untuk dapat membuktikan prestasinya kepada kedua orang tua. Apatah lagi jika orang tua mengiming-iminginya dengan ”hadiah” jika prestasi meningkat. Jika di dalam diri anak tertanam terus-menerus pikiran ”spekulan” dengan ”menghalalkan” segala cara untuk berprestasi, dapat berakibat fatal terhadap masa depannya jika dipandang dari segi moral dan sikap. Inilah yang dikhawatirkan para pakar pendidikan.
Umar bin Abu Salamah berkisah, “Ketika masih kecil aku berada bersama Nabi SAW dan tanganku menjalar ke mana-mana di atas nampan. Rasulullah bersabda kepadaku, ’Hai Bocah, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kanamu, dan makanlah makanan yang ada di dekatmu!’ Maka senantiasa seperti itulah cara makanku sesudahnya (HR Buhkari, Kitabul Ath’imah-4957, HR Ahmad, Musnadul Madaniyyin-15740). Umar bin Abu Salamah adalah ”anak sambung” Nabi SAW. Abu Salamah sahabatnya. Ketika Abu Salamah orang tua umar terbunuh di perang Badar istrinya menjanda dan Umar menjadi yatim. Rasulullah menikahi janda sabatnya itu. Jadilah Umar sebagai ”anak sambungnya”.
Begitulah Rasulullah mendidik dan mengajari anaknya. ”…sebutlah nama Allah (awal), makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang ada di dekatmu (proses)”. Rasul SAW menekankan awal dan proses, bukan hanya hasil. Ketika penekanan ”kepedulian” kepada anak pada awal dan proses, hasilnya akan sangat memuaskan. Dampak negatif dari kepedulian itu dapat dihindari. Anak tidak akan melakukan ”spekulasi” untuk berprestasi. Akhirnya, Umar bin Salamah anak sambung Nabi SAW, menjadi salah seorang terkenal, terutama kepahlawanan dan kepribadiannya dalam menegakkan agama Islam di Jazirah Arab serta sampai ke Afrika.
Peduli terhadap prestasi akademik anak dibolehkan, bahkan bisa jadi dianjurkan. Akan tetapi, kepedulian itu jangan sampai menggerogoti ”kepribadian” anak. Jangan sampai anak merusak nilai-nilai moral dan sikap baik dalam kesehariannya. Saking pedulinya kedua orang tua terhadap prestasi akademik itu, mereka ”menjanjikan imbalan”. Pada saat anak belum dapat mencapai seperti diharapkan, anak akan mengalami ”kekecewaan” karena hadiah tidak dapat diraih. Hal lain adalah anak akan ”abai” terhadap prestasi itu sendiri sebagai ekspresi atas ”keputus-asaannya” karena belum mencapai prestasi. Menjanjikan hadiah kepada anak jika prestasinya ”meningkat” juga tidak terlalu baik untuk pendidikan. Meskipun banyak yang meyakini bahwa hal itu merupakan motivasi yang ampuh. Akan tetapi, hal itu dikhawatirkan oleh banyak pakar pendidikan. Janji hadiah atas prestasi membuat anak dapat menempuh cara tidak baik untuk mencapainya, sehingga mengabaikan nilai-nilai moral. Bahkan itu dapat pula berdampak kepada kehidupan selanjutnya.
Kedua orang tua boleh dan dianjurkan peduli terhadap prestasi akademik anak. Cuma jangan hanya peduli kepada produk atau hasil akhirnya. Kepedulian ditujukan sekurang-kurangnya kepada tiga hal yakni awal, proses, dan akhir. Awal biasanya terkait dengan motivasi dengan kata-kata positif, sedang poses berhubungan dengan cara-cara atau teknik mencapai prestasi. Jika awal dan proses dipedulikan oleh kedua orang tua, insya-Allah prestasi akademik anak akan optimal. Anak akan puas dengan perolehannya dan dampak negatifnya pun dapat dihindari. Tentu saja hal ini kembali kepada kebijakan orang tua dalam menerapkan ”peduli kepada prestasi akademik anak”. Mudah-mudahan tulisan sedehana ini bermanfaat.
Padang, 4 November 2024
sepakat pak, kepedulian itu perlu dilakukan melalui tindakan awal, proses, dan akhirnya yang berupa produk karena semua tindakan awal dan proses yang mengajarkan banyak hal.
Ya, Bu Yessy. Apa kabar? Saya turut bangga dan bahagia melihat “kiprah” guru dan kepala sekolah hebat seperti Bu Yessy. Terimakasih telah mampir di blog saya. Insya-Allah saya terus menulis, berbagi seadanya. Sekurang-kurangnya dengan menulis kita ditagih untuk membaca. Membaca dan menulis secara rutin, kata orang “bijak” dapat memperlambat “proses kepikunan”. Kita terus berhubungan, beri saya masukan tentang realitas objektif di dunia pendidikan, ya, makasi!
Sangat setuju, Pak. Menjanjikan hadiah merupakan opsi terakhir dalam upaya memotivasi anak dalam belajar. Dan anak akan tumbuh menjadi pribadi yang “tidak ikhlas” dan “penuntut”. 😁
Bahkan ada pakar yang agak “ektrem” berpendapat, Li. Menjanjikan hadiah sebelum proses berlangsung sama artinya dengan “menyogok”. Pada akhirnya kala mereka dewasa terbiasa menerima “sogokan”. Jika sogokan tidak ada, mereka tidak mau bekerja. Akhirnya, mereka selalu bekerja dengan “pamrih”. Atau bekerja karena diiming-imingi oleh materi. Padahal sebenarnya “kerja ikhlas” adalah suatu sistem yang dimulai dengan awal yang baik (niat), proses yang benar (kiat, teknik, metode, dan pendekatan), dan prodduk yang berkualitas (hasil bersih, dampak yang berguna untuk jangka panjang. Inilah yang dikenal dengan “insan kamil”. Hehehe… Ali, apa kabar?