AKHLAK DAN BUDI DI MINANGAKABAU

Oleh Zulkarnaini Diran

Hanya satu alasan yang diberikan Allah SWT atas penciptaan jin dan manusia. Hal itu ditegaskan-Nya di dalam Al-Qur’an. ” وَمَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَالۡاِنۡسَ اِلَّا لِيَعۡبُدُوۡنِ -Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS Az-Zariyat, 51:56). Manusia dan jin ada karena diciptakan-Nya, tujuan agar manusia beribadah kepada-Nya. Hanya untuk itu, untuk yang satu itu. Dalam kontek ini diperlukan kesadaran yang mendalam bagi manusia atas ”alasan penciptaan” itu.

Banyak defenisi yang dikemukakan tentang ibadah. Defensi yang dirumuskan para pakar itu intinya hampir sama. Satu di antaranya, ”Ibadah adalah segala bentuk perbuatan atau perkataan yang dicintai dan diridhai Allah SWT, yang bertujuan untuk mendapatkan pahala dan keridhaan Allah SWT. Ibadah dapat dilakukan dengan hati, anggota badan, atau diucapkan secara lisan.” Defenisi ini yang digunakan dalam konteks tulisan ini.

Ibadah di dalam Islam ada dua kategori yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdha adalah ibadah yang tata caranya, waktu, dan tempatnya sudah ditentukan oleh aturan pelaksanaannya. Ibadah ini merupakan bentuk penghambaan murni kepada Allah, dan bertujuan untuk memperoleh pahala di akhirat. Ciri-ciri ibadah ini adalah: (1) berdasarkan dalil syariat Islam, seperti Alquran dan As-Sunnah; (2) hanya dapat diketahui melalui wahyu, bukan melalui akal atau budaya; (3) dikerjakan untuk memperoleh pahala sebagai bekal di akhirat; (4) penerapannya tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh manusia; (5) tata caranya sesuai yang dicontohkan Rasulullah SAW; (6) bersifat supra rasional atau di atas jangkauan akal; dan (7) berasaskan ketaatan. Ibadah shalat, puasa, zakat, dan berhaji adalah bentuk-bentuk ibadah mahdhah.

Ibadah ghairu mahdhah adalah segala perbuatan yang mendatangkan kebaikan yang dilakukan berdasarkan niat ikhlas karena Allah SWT. Ciri-cirinya adalah: (1) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan duniawi, bukan untuk meraih pahala di akhirat; (2) bisa diketahui dan dikenal tanpa wahyu dari para rasul; (3) dapat dijangkau oleh akal manusia; (4) dilakukan berdasarkan perintah, anjuran, atau tidak adanya larangan; (5) merupakan aktivitas atau ucapan yang awalnya bukan ibadah, tetapi bisa berubah bernilai ibadah karena niat pelakunya. Jenis ibadah ini dalam kehidupan sehari-hari adalah akan, berbakti kepada, orang tua, dakwah, tolong menolong,  memberikan nafkah kepada keluarga, membangun sarana ibadah, sarana pendidikan, jalanan, dan sebagainya.

Ibadah adalah aktifitas yang berhubungan dengan Allah dan Manusia. Oleh karena itu, Allah memfasilitasi pelaku ibadah dengan rambu-rambu. Rambu itu menjadi pedoman atau tuntunan bagi manusia untuk melakukan ibadahnya. Satu dari sekian banyak rambu-rambu itu adalah akhlak. Untuk berhubungan dengan Allah SWT dan manusia diperlukan akhlak yang di Minangkabau disebut dengan budi. Tulisan sederhana ini berbicara tentang akhlak dan budi serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Budi adalah inti dari adat Minangkabau. Hubungan antarmanusia di Minangkabau berlandaskan kepada budi. Hubungan itu meliputi hubungan manusia dengan manusia, hubungan dalam kekerabatan, dan hubungan di dalam kehidupan bermasyarakat. Akhlak adalah ”roh” ajaran Islam. Akhlak melandasi hubungan makhluk dengan khlaik, dan hubungan sesama makhluk (baca: manusia dengan manusia). Jadi, budi di Minangkabau berjalan paralel bahkan menjadi satu kesatuan dengan akhlak di dalam Islam.

Akhlak di dalam Islam adalah perilaku, sikap, dan moralitas yang di atur oleh ajaran Islam. Akhlak merupakan bagian penting dan utama dalam ajaran Islam yang mencakup hubungan antara manusia dengan Allah SWT dan hubungan sesama manusia. Allah memfasilitasi hamba-Nya untuk menerapkan akhlak di dalam kehidupan. Fasilitas itu adalah dasar atau dalil-dalil dan panduan cara berakhlak. Rasulullah SAW bersabda, “إنَّما بعثتُ لأتمِّمَ مَكارِمَ الأخلاق -Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia“. (HR. Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 45). Allah menurunkan seorang rasul untuk menyempurnakan akhlak manusia. Oleh karena itulah akhlak disebut sebagai ”roh” ajaran Islam.

Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an atas keberadaan Rasulullah SAW, ”لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ – Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21). Satu di antara sekian banyak yang harus di teladani dari Rasulullah SAW adalah dalam bidang akhlak. Akhlak yang dicontohkan oleh utusan-Nya itu. Tidak ada pedoman lain dalam berakhlak selain yang diteladankan oleh Rasulullah, Muhammad SAW.

 Budi adalah alat batin yang merupakan perpaduan antara pikiran dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Budi merupakan tabiat, watak, dan karakter yang baik yang melekat pada seseorang. Perpadua atau kombinasi kerja antara pikiran dan perasaan menjadi inti utama dalam tindakan-tindakan orang berbudi. Di Minangkabau, itulah yang dikatakan ”raso dibao naiak, pareso dibao turun”. Raso ada di perasaan, pareso ada di pikiran. Pertimbangan yang diberikan oleh kedua kerja sama kedua elemen itu, itulah yang tampilan tindakan orang berbudi. Jadi, budi itu adalah perilaku baik yang ditampilkan berdasakan raso  raso jo pareso.

Akhlak berpedoman kepada perilaku Rasulullah. Rujukannya adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Budi rujukannya alam. Semua yang ada di alam menjadi rujukan yang menghasilkan budi baik. Di Minangkabau dikenal dengan ”alam takambang jadi guru”. Kemudian menjadi filsafat hidup orang Minangkabau. Dikatakan dalam kato pusako dalam bentuk pantun, ”Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak kanyiru. Satitiak jadikan kan lauik, sakapa jadikan gunuang, alam takmbang jadi guru.” Jadi, budi orang Minangkabau berasal dari ”tiruan” terhadap perilaku alam.

Contoh perilaku alam yang dapat dilihat sehari-hari adalah matahari. Matahari setiap hari memberikan sinarnya untuk kehidupan, tetapi matahari tidak pernah berharap balasan dari siapapun. Orang berbudi, jika memberi tidak pernah mengharap balas. Pemberian dilakukan dengan keikhlasan, dengan ketulusan. Hal-hal seperti hampir meliputi semua perilaku orang yang berbudi baik. Mungkin banyak contoh ril yang dapat diamati dalam kehidupan sehari.

Alam yang menjadi rujukan atau landasan budi orang Minangkabau memiliki dua sifat. Kedua sifat itu adalah, “tetap” dan “berubah”. Oleh orang Minangkabau dengan menggunakan “akal budi” menjadikan kedua sifat alam (tetap dan berubah) itu sebagai dasar untuk menyusun “peraturan hidupnya”. Perilaku individu dan perilaku bermasyarakat disusun berdasarkan kedua sifat alam itu. Aturan hidup dan kehidupan itu kemudian mereka beri nama ”Adat Alam Minangkabau”. Ali Akbar Navis dalam bukunya ”Alam Terkembang Jadi Guru” menuturkan bahwa alam bagi orang Minangkabau bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi alam dijadikannya guru sebagai sumber pedoman hidup dan kehidupan”.

Para pakar merumuskan konsep Adat Alam Minangkabau dengan berbagai redaksi. Satu di antaranya adalah, ”Adat Minangkabau adalah susunan peraturan hidup dan kehidupan orang Minangkabau yang diatur dengan kato-kato (kata-kata)”. Adat Alam Minangkabau atau lazim disebut Adat Minangkabau dibagi empat yakni adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat nan taradat, dan adat istiadat. Keempat jenis adat itu diturunkan atau ditirukan dari dua sifat alam (tetap dan berubah). Sifat alam yang tetap melahirkan ada nan sabana adat dan adat nan diadatkan, keduanya dikenal dengan adat babuhua mati. Sifat alam yang berubah menurunkan adat nan taradat dan adat istiadat, keduanya dikenal dengan adat babuhua sentak.

Adat babuhua mati  (berbuhul mati) adalah adat yang tetap, diasumsikan tidak akan berubah dalam waktu yang sangat lama, kecuali dengan kehendak Yang Mahakuasa. Dienal di dalam kato-kato, ”indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati”.  Adat babuhua sentah (berbuhul sentak) adalah adat yang ikatannya dapat dibuka untuk menerima perkembangan baru, berubah sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi. Adat ini terbuka untuk menerima hal-hal baik darimana pun asalnya. Diungkapkan, cara menerima itu dalam kato-kato yaitu, ”tabik bak padi digaro, tumbuah bak bijo disiangi, elok dipakai, buruak dibuang, elok dipakai jo mupakaik, buruak dibuang jo rundiangan”.

Kato-kato (kata-kata) di Minangkabau dikenal dengan limbago kato-kato. Kato-kato adalah serangkaian perkataan yang sekurang-kurangnya terdiri dua kalimat pendek yang luas dan dalam maknanya. Ada dua kato (kata) yang digunakan untuk menukilkan aturan adat di Minangkabau. Kedua kata itu adalah kata petatah (kato petatah) dan kata petitih (kato petitih). Kato petatah adalah pahatan kata, patokan ketentuan adat yang merupakan sumber dari dari peraturan  yang mengatur segala hubungan pergaulan hidup dan kehiduppan orang Minangkabau. Hal ini disebut juga hukum dasar atau ketentuan dasar di Minangkabau. Kato petitih adalah ungkapan atau pernyataan yang mengatur batas-batas pelaksanaan petatah (aturan pelaksanaan). Contoh Petatah: iduik dikanduang adat; Petitih : adat iduik tolong menolong, adat mati janguak-manjanguak, adat lai bari mambari, adat indak baselang-tenggang.

Budi orang Minangkabau berlandaskan kepada alam. Sifat dan perilaku alam dan isinya dijadikan menjadi padoman dan panduan bagi orang Minangkabau dalam ”berbudi baik”. Hal itu terjadi sebelum Islam masuk ke Alam Minangkabau. Sementara akhlak bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Ketika terjadi kolaborasi antara adat dan syarak (Islam) di Minangkabau, lahirlah keputusan politik yang berbunyi “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Kemudian dipercaya sebagai “falsafah Minangkabau”. Falsafah “alam takambang jadi guru” tetap dipakai. Kolaborasi itupun secara otomatis menjadikan “budi” dan “akhlak” menjadi satu dan berpadu. Budi orang Minangkabau adalah akhlak. Akhlak itu bersumber dari Al-Qu’an dan Sunnah. Di situlah diungkapkan, “syarak mangato, adat mamakai”. Hanya yang dikatakan syaraklah yang boleh dipakai sebagai adat. Budi pun menjelma dan menyatu dengan akhlak. Jadi, budi di Minangkabau sama dengan atau idenetik dengan akhlak di dalam Islam.

Hal  yang diimplementasikan di dalah kehidupan keluarga adalah akhlak menurut Islam yang otomatis ada budi di dalamnya. Ada empat fase untuk mengimplementasikannya. Keempat fase itu adalah: (1) ajarkan/pelajari; (2) biasakan/pembiasaan/; (3) kebiasaan/ menjadi kebiasaan; dan (4) menjadi perangai. Mengajarkan atau mempelejari berarti mengiformasi-kan, membimbingkan, mencontohkan, dan meneladan penerapan akhlak di dalam keluarga. Membiasakan atau pembiasaan berarti mempraktikkan secara bertahap dan terus-menerus. Kemudian dikendalikan dan diberi ganjaran. Menjadikan kebiasaan dilakukan dengan cara mengawasi, menilai, mengevaluasi, dan mengapresiasi. Pada fase keempat diharapkan akhlak yang di dalamnya ada budi menjadi perilaku keluarga sehari-hari. Tentu semuanya ini sangatlah ditentukan oleh ”kompetensi” ayah-bunda dalam bidang budi menurut adat dan akhlak menurut syarak.

Begitulah budi menurut adat, akhlak menurut syarak, dan implementasinya dalam keluarga. Semoga bermanfaat.

Padang, 07 Desember 2024

(Zulkarnaini Diran menikah dengan Wirnahayati, dikrunia empat orang putra dan satu orang putri, lima orang menantu, dan sembilan orang cucu. Kini tinggal Jalan Golf Nomor 26, RT 03, RW 13, Kelurahan Batipuah Panjang, Kototangah, Padang, Sumatera Barat.  

HP 0811665077, zulkarnaini1952@gmail.com, blog: http://zulkarnaini.my.id, facebook: Zulkarnaini Mamak; Instagram: zulmamak)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *