(Selamat Hari Guru Tahun 2024)
Oleh Zulkarnaini Diran
Pengantar
Saya termasuk berhasil menjadi guru. Dari jenjang karir, saya memulai dari guru SMP kemudian guru SMA. Selanjutnya saya menjadi pengawas sekolah dan widyaiswara pendidikan. Sampai di situ “pluit panjang berbunyi”. Saya purnatugas sebagai aparatur sipil negara (ASN), tetapi tetap “merasa menjadi guru” sampai kini. Ketika menjadi guru saya pernah menjadi guru inti mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Agam dan Bukittinggi. Kemudian menjadi isntruktur mata pelajaran yang sama di tingkat Provinsi Sumatra Barat. Semua itu ”saya anggap” sebagai keberhasilan menjadi guru.
Pada saat menjadi guru juga, saya menjadi anggota Tim Perekayasa Kurikulum (TPK) di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat. Tugas yang saya emban bersama anggota tim lainnya adalah Menyusun Kurikulum Mata Pelajaran Muatan Lokal. Satu kemasan dengan tugas itu ialah memantau dan menilai pelaksanaan kurikulum muatan lokal dan kurikulum nasional dalam wilayah kerja Provinsi Sumatra Barat. Bersamaan dengan itu pula saya ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai instruktur nasional untuk Muatan Lokal. Saya juga ”menganggap ini” sebagai keberhasilan sebagai guru.
Selama menjadi guru itu pula, saya memperoleh sejumlah sertifikat melalui pelatihan. Sertifikan nasional itu memberikan kewenangan kepada saya untuk berbuat di bidang lain selain menjadi guru di kelas. Di antara sertifikat yang saya miliki itu adalah ”Instruktur Calon Kepala Sekolah, Instruktur Kepala Sekolah, Instruktur Manajemen Sekolah, dan sebagainya. Itu semua saya anggap pula sebagai ”keberhasilan” menjadi guru. Sekurang-kurangnya saya memiliki kompetensi sebagai guru di kelas dan sebagai guru untuk orang dewasa.
Tulisan ini agak panjang. Ini cuplikan dari kisah seorang guru yang insya-Allah sedang diproses untuk diterbitkan dalam bentuk buku. Akan tetapi, saya ingin mempublikasikan sebagian kecil kisah itu pada ”Hari Guru 2024” ini. Minimal, bagi yang membaca mendapat kesan, bahwa menjadi guru adalah “sesuatu yang menyenangkan dan mengasyikkan”. Hanya itu, hanya ingin menuangkan sedikit kisah pada hari guru tahun ini.
Tiga hal yang saya kisahkan dalam tulisan ini. Ketiga hal itu adalah tentang “bukan mengajar, tetapi belajar”, tentang “keberanian menilai diri sendiri”, dan tentang “berupaya untuk ikhlas”. Ketiga hal itu saya kisahkan agak panjang. Mudah-mudahan pembaca yang budiman tidak bosan, ya! Kisah ini sengaja saya rangkai sedemikian rupa, sehingga poin-poin intinya dapat dimaknai sendiri oleh pembaca. Selama membaca!
Bukan Mengaajar, tetapi Belajar
Mengenali peserta didik dari dekat salah satu kunci keberhasilan seorang pendidik. Hal itu terungkap dalam banyak teori pendidikan. Pengenalan itu akan menjembatani kesenjangan antara harapan peserta didik dengan harapan pendidik. Pengenalan itu pula akan merajut kebersamaan dan saling percaya antara peserta didik dengan pendidik. Kata teorinya begitu. Bagi guru yang praktisi pendidikan, tentulah bukan teori-teori itu saja yang penting, tetapi penerapannya, praktiknya yang utama.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengenali peserta didik. Di antaranya ialah kegiatan-kegiatan non-akademik, kegiatan luar sekolah, dan kegiatan lain di luar jam pelajaran. Kegiatan itu dikenal dengan kegiatan ekstrakurikuler. Pengenalan secara pisik dan psikologis terhadap peserta didik dapat dilakukan ketika proses berlangsung. Kegiatan itulah yang saya lakukan secara rutin sepanjang waktu dan selama menjadi guru.
Menghayati pekerjaan sebagai guru, sebagai pendidik adalah langkah awal yang saya lakukan. Penghayatan itu dimulai dengan mengenali peserta didik. Pengenalan itu melahirkan saling memahami. Saling memahami akan bemuara kepada keakraban. Yah, keakraban peserta didik dengan pendidik. Dalam konteks itu akan dirasakan kebermaknaan keberadaan pendidik oleh peserta didik. Nah, langkah inilah yang saya lakukan. Hakikatnya, saya belajar dan belajar menerapkan dalam bentuk ril, teori-teori yang dipelajari di kampus atau yang dibaca dari berbagai sumber.
Di pemondokan kami, tinggal bebera orang peserta didik laki-laki dan perempuan. Mereka sangat sopan, patuh, dan taat kepada norma yang berlaku. Anak-anak kampung pada zaman itu memang belum terkontaminasi oleh berbagai kenakalan. Hal inilah yang membuat saya senang membimbing dan mendidik mereka. Mereka banyak membantu soal kebersihan rumah, memasak, dan pekerjaan rumah lain. Kemudian mereka juga taat mengikuti jadwal belajar di rumah yang saya susun.
Terhadap anak-anak ini, kami (saya dan Dasril) berlaku konsisten. Ketika di kelas mereka kami perlakukan seperti peserta didik yang lain. Di rumah, mereka kami anggap bagian dari keluarga, seperti adik-adiklah. Mereka nampak senang, bahkan orang tua mereka sangat mengapresiasi kegiatan-kegiatan rumah yang kami tata. Misalnya shalat tepat waktu, menggunakan waktu secara efektif, mengulang pelajaran, membaca, dan sebagainya. Semua itu berlangsung dalam suasana tanpa paksaan. Inilah pelajaran saya tentang mengenali, membimbing, dan mengarahkan peserta didik di rumah.
Selain anak-anak yang mondok di rumah, malam hari juga ada anak lain yang datang belajar. Mereka membentuk kelompok belajar untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak tuntas di sekolah. Mereka mengerjakan pekerjaan rumah, mengulang pelajaran, berdiskusi, dan sebagainya. Hal itu terus kami awasi, kami perhatikan, dan kami amati sungguh-sungguh. Ternyata, guru pemula seperti saya dapat belajar dari perilaku mereka. Dapat mendalami kurenah mereka. Bahkan dapat pula diterjemahkan dari perilaku itu harapan dan keinginan-keinginan mereka dari seorang guru.
Banyak hal yang dapat ditangkap dari gejala yang ditampilkan anak-anak. Di antaranya, setiap anak ingin mendapat perhatian dari gurunya. Perbedaannya terlihat pada cara mereka menyatakan “agar diperhatikan”. Ada anak yang ingin diperhatikan dengan cara melanggar norma yang berlaku. Misalnya kalau ada jadwal yang tercatat, mereka berupaya melanggarnya. Kalau ada aturan yang ditetapkan, mereka berusaha menentangnya. Hal ini, akan menjadi eksekusi keliru, jika guru pemula seperti saya tidak arif menangkapnya.
Ada anak, untuk menarik perhatian guru, dia berupaya “menjilat” kepada guru. Berupaya tampil sebagai anak baik, rajin, dan tekun. Anak-anak seperti ini ternyata cukup banyak jumlahnya. Apa saja yang dikatakan guru langsung dia respon. Jika ada tugas dia kerjakan secepatnya dan langsung menyatakan bahwa dia sudah selesai. Perilaku seperti itu kadang-kadang menggelikan. Akan tetapi, sebagai guru muda yang pemula, saya terus belajar mengarifinya. Tentu maknanya akan lebih dalam dan luas jika belajar dari kenyataan, daripada belajar dari seperangkat teori belaka.
Anak-anak yang mendapat perlakuan sesuai dengan harapannya kepada guru, menjadikan guru itu sebagai idolanya. Ketika sampai di rumah dan berhadapan dengan orang tua, anak-anak akan menceritakan kebaikan-kebaikan guru idolanya. Akhirnya, masyarakat pun tau, bahwa ada guru yang diidolakan oleh anak-anak di suatu sekolah. Ini sudah lumrah tentunya. Akan tetapi, bagi saya sebagai guru pemula, pada tahun-tahun awal, ini agak aneh dan menggelikan.
Suatu hari saya naik mobil angkuatn pedesaan menuju Bukittinggi. Di mobil itu ada sejumlah kaum ibu yang menjadi penumpang. Mereka bercerita bahwa anaknya sekolah di SMP Standar Empat Angkat. Anaknya selalu bercerita bahwa di sekolah itu banyak guru yang baik-baik dan disukai siswa. Di antaranya adalah Pak Zulkarnaini. Ibu itu bercerita tentang Zulkarnaini berdasarkan cerita anaknya. Akan tetapi, dia sendiri belum tahu bahwa yang semobil dengannya adalah guru yang dia ceritakan. Menggelikan memang.
Di persimpangan jalan mobil berhenti. Seorang penumpang ibu-ibu naik ke mobil. Ketika naik ibu ini langsung melihat saya. Dia langsung menyapa dengan menyebut nama saya. Ibu yang baru naik ini adalah guru Sekolah Dasar yang anaknya juga bersekolah di tempat saya mengajar. Saya melihat dengan sudut mata reaksi ibu-ibu yang bercerita tentang Pak Zul tadi. Kelihatan dia tersipu malu karena belum mengenali Zulkarnaini atau pak Zul yang diceritakan anaknya. Inilah hal-hal yang menggelikan memang.
Dari sekian banyak guru di sekolah itu, saya termasuk ideal di mata peserta didik. Sekurang-kurangnya hal itu saya dengar dari cerita orang tua, masyarakat, dan pemuka masyarakat setempat. Saya tidak tau bahwa saya termasuk ke kelompok idola. Padahal, rasanya saya hanya berupaya untuk belajar menjadi guru yang memahami peserta didik. Berupaya menjadi guru yang dapat menjembatani kesenjangan antara pendidik dengan peserta didik. Dalam upaya-upaya itulah proses belajar secara realitas berlangsung. Saya belajar dan belajar menjadi guru dan pendidik.
Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler saya perbanyak. Hampir tiap hari terisi dengan kegiatan itu. Kegiatan seni dan sastra, kegiatan keagamaan, pramuka, olahraga, dan sebagainya tumbuh berkembang di sekolah ini. Semangat dan kekompakan para guru mendapat supor luar biasa dari kepala sekolah. Pak Ibrahim Yahya (alm), kepala sekolahnya bahkan ikut terlibat langsung dalam kegiatan ekstrakurikuler itu. Akhirnya, SMP Standar Empat Angkat Candung (kini SMP Negeri 2 Ampek Angkek) itu menjadi terkenal. Orang tua yang ingin memasukkan anak-anaknya ke sekolah itu semakin banyak.
Seiring dengan itu, saya terus memantapkan proses pembelajaran saya menjadi guru. Melalui ektrakurikuler tingkat sekolah ini, saya berupaya memahami karakter anak-anak, memahami perilaku, harapan, bahkan cita-cita anak. Dari situ kadang-kadang takterhindarkan benturan sesama guru. Tentu saja guru itu beragam juga wataknya. Ada yang mau belajar ada yang menganggap tidak perlu belajar lagi karena sudah menjadi guru. Benturan-benturan itu selalu diredam kepala sekolah dengan arif dan bijak. Di situ dirasakan kehadiran kepala sekolah yang benar-benar membawa kenyamanan dan kedamaian. Semoga pula Bapak Ibrahim Yahya (alm) damai di alam berzakh, amin YRA!
Oleh kepala sekolah, saya dipercayai menjadi Pembina Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Semua kegiatan dan aktifitas OSIS saya koordinir. Untuk melancarkan kegiatan, saya berkolaborasi dengan berbagai pihak. Kolaborator utama saya adalah guru Pendidikan Agama Islam, guru Bimbingan dan Konseling, serta Wali Kelas. Saya sering berkomunikasi dengan sejawat kolaborator ini tentang perilaku, kekurangan, dan keunggulan anak-anak. Teman-teman ini ada yang responsif dan ada juga yang tidak peduli. Biasalah hal itu terjadi dalam suatu lembaga.
Sebagai Pembina OSIS, saya mendapat banyak informasi, bahkan keluhan dari peserta didik tentang perilaku guru di kelas. Ada guru yang perilakuknya tidak mendidik, kurang pantas, kurang wajar, bahkan tiap jam pelajaran hanya mencatat buku. Itu menurut pandangan peserta didik. Hal itu pula yang mereka sampaikan kepada saya ketika kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan. Akhirnya saya sadar, Pembina OSIS itu adalah “kantong” penghimpun dan penyimpan masalah. Kesadaran itupun menjadi pelajaran bagi saya sebagai pembina siswa.
Kebiasaan mencatat segala informasi yang didapat, sangat menguntungkan saya. Semua yang disampaikan sumber informasi masuk ke dalam catatan/ buku harian saya. Saya memiliki data autentiknya. Informannya, hari dan tanggalnya, dan ringkasan isi informasi terekam di dalam buku harian saya secara jelas. Atas dasar catatan itulah saya bediskusi dengan kepala sekolah pada waktu-waktu senggang. Kepala sangat responsif dan aspiratif. Beliau menawarkan berbagai alternatif untuk mengatasi berbagai masalah. Bahkan, dalam rapat-rapat majelis guru, beliau menyampaikan hasil diskusi kami dengan bahasa yang arif. Beliau benari memiliki kemampuan berkomunikasi secara persuasif dan edukatif.
Banyak masalah guru dalam pembelajaran yang saya rekam. Rekaman itu bersumber dari informasi peserta didik. Dari situ pula saya tahu berbagai perilaku guru. Dari situ pula saya mencoba menilai bahwa ada guru yang memang terpanggil untuk profesi ini, dan ada yang hanya karena terpaksa menjadi guru. Dari perilaku itu pula saya belajar tentang guru yang menjadi harapan peserta didik. Guru idola secara umum dan secara khusus dipelajari dari fenomena itu.
Dari informasi yang disampaikan peserta didik tentang perilaku guru itu pulalah saya berupaya mengaitkan dan mensikronkan teori-teori keguruan dengan kenyataan. Saya berupaya menghubungkan dan menyelaraskan antara ranah teoretis dengan ranah paraktis. Kadang-kadang kenyataan secara teoretis sangat berbeda dengan kenyataan praktis. Oleh karena itu saya meyakini, tidak ada teori yang sangat tepat untuk menghadapi masalah pembelajaran, yang ada hanyalah guru yang arif dan piawai. Artinya, teori tidak selamanya dapat dipedomani, yang benar adalah prakatik dari keprofesionalan guru.
Begitulah saya belajar dan belajar menjadi guru yang piawai. Ternyata belajar menjadi guru di bangku kuliah, belumlah memadai. Belum cukup bekal utuk menjadi pelayan yang arif bagi peserta didik. Memang di kampus calon guru lebih banyak bergelut dengan teori-teori dari berbagai dimensi tugas guru. Teori itu dicerna, kemudian dijadikan pemahaman untuk menjawab soal-soal atau tugas-tugas yang diberikan dosen. Akhirnya, menjelma menjadi angka kualitataif dan kuantitatif yang disebut indeks prestasi (IP). Di lapangan? Ternyata kondisinya lain.
Pengalaman demi pengalaman menghadapi peserta didik saya rajut demikian rupa. Setiap pengalaman itu saya kristalkan dalam catatan dan saya ujicobakan kembali dalam situasi dan kondisi yang lain. Jika mendapat hasil yang sama dalam berbagai situasi, berarti itu pola yang universal. Berarti satu pengalaman dapat dimanfaatkan untuk situasi yang lain. Inilah mungkin yang dikatakan orang sebagai “pengalaman adalah guru terbaik”.
Ternyata, pengalaman yang mengkristal itulah yang pada hakikatnya mengandung makna yang dalam bagi saya sebagai guru. Tidak ada tempat belajar yang mangkus bagi guru, selain pengalaman dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Saya ingat yang dikatakan Prof. Dr. Fuad Hassan (Mendikbud era Presiden Suharto) bahwa tugas guru itu bukan hanya mengajar, tetapi belajar bersama dari dan dengan murid-muridnya. Guru terus belajar dan belajar.
Berani Menilai dan Mengevaluasi Diri
Menilai diri sendiri adalah bentuk lain dari upaya meningkatkan kualitas keprofesionalan. Penilaian dilakukan dengan cara bermuhasabbah (merenungkan) dan melalui orang lain. Hal ini penting dilakukan bagi profesional guru, terutama guru pemula sepeti saya. Merenungkan hal-hal yang telah dilakukan dan kemudian dikaitkan dengan standar yang ditetapkan, akan menghasilkan informasi yang bermakna. Informasi itu di antaranya perilaku sesuai dengan standar, di bawah standar, atau di atas standar. Jika hal ini dilakukan dengan jujur, akan membuahkan hasil yang bermanfaat, yakni seperangkat informasi.
Kualitas atau mutu adalah kepuasan. Seorang pendidik dianggap berkualitas secara profesional apabila dari kinerjanya diperoleh kepuasan. Kepuasan itu meliputi kepuasan internal dan kepuasan eksternal. Sekurang-kurangnya begitu yang disarikan oleh buku Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu yang pernah saya pelajari.
Jika seorang pendidik dengan jujur menyatakan puas terhadap kinerjanya, setelah dilakukan penilaian, berarti secara internal dia telah berkualitas dalam profesinya. Jika orang lain yang menjadi pelanggannya menyatakan puas terhadap perilaku pendidik, berarti secara ekternal pendidik sudah berkualitas. Untuk mengetahui hal itu, perlu dilakukan penilaian dan evaluasi terhadap kinerja dan perilaku pendidik. Penilaian dan evaluasi dilakukan secara internal dan eksternal.
Menilai dan mengevaluasi adalah dua konsep yang berbeda tetapi hierarkis. Menilai adalah mengumpulkan informasi tentang subjek berdasarkan indikator-indikator yang ditetapkan. Hasilnya bisa berupa data kualitatif dan kuantitatif. Sedangkan mengevaluasi adalah membandingkan data hasil penilain dengan standar baku yang telah ditetapkan. Jadi, setiap evaluasi selalu diawali dengan penilaian. Evaluasi tidak akan memberikan informasi bermakna, tanpa penilaian. Penilaian dan evaluasi memiliki hubungan hierarkis (atas-bawah).
Menilai diri sendiri perlu kejujuran. Kejujuran utama ada di nurani. Inilah yang dikatakan Prof. Hamka. “Jika nurani berkata benar, itulah kebenaran sejati….” Saya berlatih menilai diri sendiri secara jujur dalam kaitan sebagai pendidik. Kuncinya adalah kebenaran nuraniah. Saya lakukan itu secara kontemplatif setiap hari. Hal penting yang saya nilai adalah tiga hal pokok dalam operasional pekerjaan guru di kelas. Ketiga hal pokok itu adalah perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Ketiga hal itu menjadi acuan saya untuk merenung, bermuhasabah setiap waktu secara berkelanjutan.
Hasilnya bervariasi. Adakalanya perencanaan bagus, pelaksanaan bagus, dan hasilnya juga bagus. Jika hal itu terjadi, saya merasa sangat puas. Saya merasa sangat berhasil. Tidur pun rasa nyenyak karena tidak ada yang mengganjal dalam pelaksanaan tugas. Kepuasan-kepuasan seperti itu ternyata pula memberi dorongan dan semangat yang luar biasa untuk memperbaiki, menyempurnakan, dan meningkatkan kualitas keprofesionalan pendidik. Akan tetapi, adakalanya terjadi kepincangan dalam ketiga komponen itu. Tentu hal seperti itu termasuk lumrah. Soalnya yang bekerja adalah “sebangsa manusia” yang penuh kealpaan.
Penilaian eksternal selalu saya lakukan. Penilaiannya dilakukan melalui peserta didik. Inti penilaiannya aprisial. Artinya, peserta didik dapat menilai saya secara apresiatif. Indikator yang saya buat untuk penilaian ini di antaranya adalah tampilan, pekaian, berkomunikasi, kepemimpinan, penguasaan materi, sistematika penyajian, dan interaksi dengan peserta didik. Kepada peserta didik saya berikan instrumen yang berhubungan dengan indikator itu. Mereka tinggal menyontreng pilihan dengan alternatif sangat baik, baik, kurang baik, dan sangat kurang. Untuk menjaga objektifitas penilaian, peserta didik tidak perlu menuliskan identitasnya pada lembar instrumen.
Peserta didik juga diberi kesempatan untuk memberikan saran kepada saya. Di dalam instrumen disediakan kolom saran. Saran tentang apa saja yang berkaitan dengan tampilan saya di hadapan mereka sebagai pendidik. Saran-saran ini sangatlah berarti bagi saya, karena berhubungan dengan aspirasi dan harapan peserta didik atas keberadaan pendidiknya. Dari saran-saran itu terbaca dinamika dan harapan mereka. Cara mereka menyampaikan saran pun sangatlah bevariasi. Kadang-kadang bahasa yang mereka gunakan ‘menggelikan dan menggelitik”.
Saya termasuk perokok berat. Mekipun saya tahu bahwa di depan kelas tidak boleh merokok, tetapi karena kecanduan, hal itu selalu saya lakukan. Meskipun ada yang menegur dan menasihatkan supaya hal itu dihentikan, ternyata saya tidak bisa berhenti. Begitulah ketika supervisor (pengawas sekolah) mensupervisi saya, dia menegaskan agar guru tidak merokok di depan kelas. Dengan nada berkelakar, saya sarankan kepada pengawas agar mengurus guru yang sering terlambat dan sering tidak masuk kelas daripada mengurus guru yang perokok. Artinya, saya sangat kesulitan menghentikan kebiasaan merokok ini.
Begitulah sesuatu terjadi. Beberarapa peserta didik yang menerima instrumen penilaian diri saya menuliskan sarannya yang membuat saya harus merenung lebih dalam. Sarannya sangat dinamis. Cara penyampaiannya juga lugas seperti keluguan pada usia SLTP. Di antara saran mereka yang masih sangat segar dalam ingatan saya seperti berikut ini.
“Pak Zul yang kami sayangi. Bapak adalah guru idola dan kesayangan kami. Kami ingin Bapak berumur panjang. Oleh karena itu berhentilah merokok. Sebatang rokok mengurangi lima menit umur Bapak, ….” Saya terenyuh membaca saran yang seperti ini. Belasan saran yang seirama isi dan bahasa dengan itu. Saya benar-benar berpikir untuk tidak merokok, tetapi saya tidak bisa. Saya tidak bisa menghilangkan ‘kecanduan” ini.
Pada lembar lain saya baca seperti ini. “Pak Zul, perokok itu jorok. Mereka membuang abu dan puntung rokok di sembarang tempat. Supaya Bapak tidak kami panggil guru jorok, berhentilah merokok!” Kalimat ini bukan membuat saya sakit hati, tetapi membuat saya “geli” dan ingin ketawa sendiri. Memang dalam kenyataannya benar, benar-benar begitulah perilaku perokok. Jorok, perokok itu jorok, tapi saya tetap saja tidak bisa berhenti.
Saran-saran simpatik dan menggelikan itu saya ulas di kelas. Saya berterimakasih kepada penyaran. Saya salut atas ketajaman makna dari saran yang diberikan. Demikian tajamnya, sampai menembus ke sanubari saya. Terimakasih kepada peserta didik yang dengan lugas mau memberikan nasihat kepada saya. Saya sampaikan kepada mereka, bahwa isi dan cara penyampaian saran itu sangatlah tepat dan sangat berarti. Tapi, saya tetap saja tidak bisa berhenti merokok.
Saya tetap saja merokok, tidak bisa berhenti. Iu mungkin karena saya belum berniat secara mendalam untuk berhenti. Akan tetapi, munculnya saran anak-anak didik saya itu, membuat saya berpikir lebih dalam. Mereka menyampaikan saran dengan tulus dan ikhlas tanpa embel-embel. Tentu saran itu untuk kebaikan saya terutama. Untuk menghormati mereka yang menyaran, mulai hari itu saya bertekad untuk tidak merokok lagi di depan kelas, di hadapan mereka. Tetapi, saya masih belum bertekad untuk benar-benar berhenti merokok.
Penilaian diri sendiri secara internal dan penilaian oleh orang lain secara eksternal, dapat memberikan data atau informasi tentang eksistensi saya sebaga pendidik. Hasil penilaian aya rekap, saya analisis, dan saya tafsirkan sehingga bermakna. Maknanya itu saya gunakan untuk perlakuan terhadap diri sendiri lebih lanjut. Saya menggunakn hasil penilaian itu untuk mengeksekusi diri saya dalam profesi pendidik khsusunya dan dalam tampilan sebagai manusia umumnya.
Hasilnya itu pula saya gunakan untuk mengevaluasi keberadaan saya. Saya bandingkan hasil penilaian itu dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Perbandingan itu memberikan peluang kepada saya untuk tiga hal yakni memperbaiki yang kurang, meningkatkan yang telah baik, dan mempertahankan capaian yang amat baik. Hal itu saya lakukan terus-menerus secara teratur. Ini bagian dari aktifitas saya dalam rangka menjadi pendidik profesional.
Tiap akhir tahun kepala sekolah melakukan penilaian terhadap guru dan pegawai di sekolahnya. Penilaian itu dikenal dengan DP3 (Daftar Pelaksanaan Penilaian Pegawai). Penilaian kepala sekolah biasanya dilakukan dengan mempedomani hasil penilaian sebelumnya. Hampir tiap tahun kepala sekolah meminta kami para guru dan pegawai untuk mengajukan nilai masing-masing. Ajuan itu nanti dieksekusi oleh kepala sekolah. Ada kalanya naik dari yang diajukan dan adakalanya turun jumlahnya. Bagi saya, penilaian seperti ini amatlah berat karena item yang dinilai tidak semuanya saya kuasai.
Penilaian DP3 ini bagi saya termasuk tidak memberikan makna untuk perbaikan, peningkatan, dan mempertahankan kualitas keprofesionalan. Masalahnya, data-data tentang item yang dinilai hanya ada pada kepala sekolah, tidak diberikan kepada guru atau pegawai yang bersangkutan. Intinya, DP3 hanyalah sekedar pelengkap administrasi untuk keperluan tertentu pegawai yang bersangkutan. Sedangkan untuk perbaikan kinerja dan perilaku, bagi saya sebagai pendidik, penilaian internal diri sendiri dan penilaian peserta didik jauh lebih bermakna. Dari penililaian itulah langkah awal untuk peningkatan keprofesionalan dilakukan.
Sebelum ada penilaian internal dan eksternal terhadap kinerja, saya selalu mengajukan pertanyaan kepada diri. Pertanyaan itu menjadi merenung dan berkontemplasi bagi saya. Dari pertanyaan itu saya mencoba membatin. Inti pertanyaan itu hanya dua yakni perbaikan dan peningkatan. Lengkapnya pertanyaan tersebut adalah, “Masih adakah hal yang harus saya perbaiki dan atau saya tingkatkan dalam keprofesian sebagai pendidik?” Dari pertanyaan itu saya jabarkan menjadi pertanyaan yang lebih rinci. Jawaban dari pertanyaan tersebut akan memfokuskan saya untuk mendapatkan informasi.
Menemukan hal yang harus diperbaiki dan ditingkatkan tentang keprofesionalan memerlukan kesadaran mendalam. Kesadaran itu akan bermuara kepada perencanaan menemukan ‘penyakit’ yang ada di dalam diri. Manakala penyakit itu ditemukan, terlihatlah dengan nyata hal yang harus ‘diobati’. Pengobatan itulah yang kemudian diupayakan, yakni memperbaiki dan meningkatkan. Jika mungkin itu dilakukan oleh setiap pendidik, tentulah akan lahir dari sini pendidik-pendidik profesional.
Tiga hal penting saya lakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan keprofesionalan sebagai pendidik. Ketiga hal itu adalah berupaya mengoptimalkan penguasaan pengetahuan, ketempilan, dan sikap. Ketiga konten itu rupanya menjadi kunci dalam menggenjot kemampuan diri. Jika ketiga hal itu dapat dioptimalkan secara seimbang niscaya keprofesionalan sebagai pendidik akan terus meningkat dan meningkat. Pada akhirnya akan menjadi pendidik yang mapan dan mumpuni. Pendidik yang mapan dan mumpuni tentulah pendidik yang mampu menjawab tantangan zaman.
Menggeluti berbagai sumber keilmuan untuk mendapatkan pengetahuan adalah kiat utama yang saya lakukan. Buku-buku terbaru tentang disiplin keilmuan yang berhubungan dengan pendidikan saya kejar, saya jangkau, dan saya dapatkan. Untuk buku-buku ini, saya memang banyak monguras isi kantong sendiri. Kadang-kadang jatah belanja rumah tanggapun terbelanjakan untuk buku. Naif, memang. Dalam kehidupan yang pas-pasan, kadang-kadang minus, saya masih berupaya mendapatkan sumber bacaan. Pahit saat itu tetapi kini terasa nikmatnya.
Untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan keprofesionalan, saya banyak berlatih. Berlatih dalam konteks terarah dan terukur. Intinya adalah saya sering bereksperimen untuk menerapkan keterampilan mengajar dan mendidik. Subjek saya adalah peserta didik di kurikuler dan ekstrakurikuler. Konsep teoretis saya adalah buku-buku yang saya baca dan saya geluti. Dari eksperimen-ekperimen itulah saya menggali “kekayaan” dalam keterampilan mengajar.
Ungkapan bahwa , “mengajar adalah mengorganisasikan lingkungan dengan sebaik-baiknya sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan” menjadi patokan utama saya. Belajar tidak akan berlangsung kalau tidak ada suasana yang menyenangkan. Menciptakan suasana yang menyenangkan itulah yang saya latihkan dalam setiap eksperimen saya di kelas kurikuler dan ekstrakurikuler. Hasilnya, rasanya ‘luar biasa’, karena saya merasakan proses lancar dan hasil optimal.
Meningkatkan sikap atau pengamalan nilai-nilai dasar keprofesionalan, juga saya lakukan secara intensif. Di antara bentuk kegiatan yang saya lakukan adalah berkolaborasi dengan teman-teman sejenis. Artinya, saya bekerja sama dengan teman yang sama-sama mengampu mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Kolaborasi atau kerja sama saya lakukan dengan sejawat satu sekolah dan dengan sejawat di sekolah-sekolah sekitar. Dengan demikian, kami dapat saling mengisi, saling memberi, dan saling menerima.
Pernyataan yang sering saya sampaikan kepada teman ketika berkolaborasi adalah, “Kekuranganku ada pada kelebihanmu, kalau bukan karena kekuranganku kelebihanmu tidak bermakna”. Ternyata, ungkapan itu cukup mangkus untuk membentuk kerja sama keprofesionalan. Sehingga akhirnya, kami pada awal-awal dapat membentuk Musyawarah Guru Bidang Studi (MGBS) Bahasa Indonesia untuk Agam Timur. Nama MGBS itu kemudian berubah menjadi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sampai sekarang, penamaan itu masih terpakai.
Memperbaiki dan meningkatkan keprofesionalan pendidik, saya lakukan dengan mengotimalkan ketiga ranah itu, yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Di situlah upaya-upaya setiap waktu saya lakukan. Alhamdulillah hasilnya sangat saya rasakan. Tahun 1992 saya meraih predikat “Guru Teladan Pertama Tingkat Nasional” untuk guru Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP). Tentang kisah teladan ini saya tulis pada bagian, “Jalan Berliku Menuju Panggung Nasional”.
Belajar Ikhlas
Agenda utama seorang guru adalah menyukseskan proses pembelajaran. Ada empat hal penting yang dilakukan untuk kesuksesan itu. Keempat hal itu adalah merencanakan, melaksanakan, menilai, dan mengelola proses pembelajaran. Jika pembelajaran dianalogikan dengan sebuah bangunan, keempat hal itu adalah pilarnya, tiangnnya. Jika salah satu dari yang empat itu tidak dilakukan, bangunan tidak berdiri kokoh.
Merencanakan pembelajaran dilakuan di luar jam dinas. Tentu perencanaan dibuat sebelum pelaksanaan. Untuk menyusun perencanaan ini, seorang guru dibekali dengan berbagai instrumen pendukung. Kurikulum adalah dokumen utamanya. Gambaran karakteristik peserta didik merupakan komponen yang tidak boleh diabaikan. Selain itu, harapan masyarakat, orang tua, dan pemerintah menjadi pertimbangan dalam membuat perencanaan proses pembelajaran. Untuk mengorganisasikan semua instrumen dan komponen itu, guru mendapat bekal dari pendidikan guru yang pernah dilaluinya.
Dalam pengamatan dan keseharian, ternyata tidak semua guru suka, mau, dan mampu menyusun perencanaan pembelajaran dengan baik benar. Fenomena itu terlihat dalam keseharian guru. Ada dan mungkin banyak guru yang lebih suka “menyontek” perencanaan dari sejawatnya. Hal itu dilakukan karena sudut pandang. Sudut pandang keliru tentang perencanaan pembelajaran adalah bahwa perencanaan hanyalah sekedar pelengkap administrasi. Gunanya tidak lain hanya untuk menjawab pertanyaan “yang berwajib” jika yang bersangkutan berkunjung ke sekolah.
Sudut pandang yang keliru itu bersumber dari pemahaman konsep. Konsep perencanaan pembelajaran belum terpahami atau terkuasai. Akhirnya, muncul sikap bahwa perencanaan pembelajaran hanya sekedar pelengkap administrasi yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan para supervisor seperti pengawas sekolah dan kepala sekolah. Dalam konteks ini, saya menolak konsep seperti itu. Konsep saya adalah, perencanaan proses pembelajaran adalah kegiatan awal yang harus dilakukan oleh seorang guru untuk memperlancar pelakasanaan pembelajaran. Bukan sekedar melengkapi administrasi.
Berdasarkan konsep itu, saya memerlukan waktu yang cukup banyak untuk menyusun perencanaan pembelajaran. Banyak yang harus dibaca dan dianalisis. Hal yang harus dibaca ialah kurikulum dan buku sumber keilmuan. Hal yang dianalisis adalah keadaan dan kebutuhan peserta didik. Keadaan peserta didik terkait dengan karaterisitiknya, kebutuhan peserta didik berhubungan dengan kemampuan belajarnya. Selain itu, harapan masyarakat, orang tua, dan pemerintah juga perlu dianalisis. Berdasarkan hal itulah perencanaan pembelajaran disusun.
Pelaksanaan pembelajaran terjadi di ruang kelas. Interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam ruang dan waktu tertentu adalah inti pelaksanaan pembelajaran. Tentu saja, pelaksanaan itu berlandaskan kepada perencanaan yang dibuat. Interaksi di kelas dengan mempedomani perencanaan pembelajaran, akan menjadikan suasana belajar menjadi hidup dan bermakna. Pembelajaran yang bermakna inilah pada hakikatnya yang ingin dicapai di dalam pelaksanaan pemebelajaran.
Antara perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran terjadi saling koreksi. Adakalanya perencanaan sudah disusun sebaik dan seideal mungkin, tetapi sulit dilaksanakan di kelas tertentu. Untuk itu, pelaksanaan akan mengadakan koreksi terhadap perencanaan. Adakalanya, perencanaan tidaklah begitu ideal, tetapi dalam pelaksanaan ternyata sangat mantap dan penuh makna, dalam konteks ini perencanaan mengontrol pelaksanaan pembelajaran. Kajian-kajian seperti ini hanya dapat dilaksanakan oleh guru yang profesional dan ihklas melaksanakan tugas.
Penilaian dilakukan terhadap dua hal. Kedua hal itu adalah proses pembelajaran dan hasil belajar. Penilaian terhadap proses dilakukan pada saat proses itu berlangsung. Indikatornya ada di dalam perencanaan. Penilaian hasil dilakukan pada saat dan setelah pembelajaran berlangsung. Indikatornya juga ada di dalam perencanaan. Alat atau instrumen yang digunakan untuk melakukan penilaian ini tergantung kepada aspek atau sisi yang dinilai. Kepiawaian guru menyusun indikator pencapain dan instrumen penialaian adalah kunci keabsahan atau kesahiahan penilaian.
Pengelolaan dilakukan terhadap segala aspek yang melibatkan proses pembelajaran. Inilah inti mengajar yakni “mengorganisasikan lingkungan dengan sebaik-baiknya untuk menciptakan suasana yang menyenangkan sehingga peserta didik termotivasi untuk belajar”. Konsep ini dipahami secara menyeluruh, sehingga tugas guru dalam pengelolaan ialah “mengorganisasikan” segala aspek lingkungan belajar. Termasuk di dalamnya sumber daya pendukung dan sumberdaya subjek belajar yakni peserta didik.
Pengelolaan proses pembelajaran unsur penentu berfungsi tidaknya pilar yang lain. Perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hanya akan berfungsi secara optimal, jika pengelolaannya memadai. Untuk itu, kompetensi guru dalam mengelola semua aspek dan komponen terkait dalam pembelajaran, merupakan unsur kunci dalam keempat pilar itu. Terkait dengan pengelolaan ini, ada juga yang menyebutnya dengan ‘seni’ atau ‘kiat’ mengajar. Perencanaan yang sama, akan mengalami proses dan hasil yang berbeda di tangan guru yang berbeda, karena menyangkut dengan kiat dan seni mengajar.
Sebagai guru yang masih dan akan terus belajar, keempat hal itulah yang saya permahir. Saya lakukan dengan cara bersiklus. Perencanaan hari ini terus saya nilai pada pelaksanaan berikut. Hasilnya saya gunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan perencanaan dan pelaksanaan selanjutnya. Terus dan terus saya pelajari sepanjang waktu. Pada saat tertentu, untuk materi pelajaran dan penilaian tertentu, saya sampai ke titik puncak. Saya akhirnya berkata, “inilah perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengelolaah yang ideal”. Titik kepuasan sebagai gurupun saya temukan.
Kata kunci untuk dapat melaksanaan hal-hal seperti itu hanya satu. Ikhlas, ya ikhlas. Soalnya dibuat perencanaan yang baik atau bukan, dilaksanakan dengan baik atau bukan, dinilai dengan baik atau bukan, dikelola dengan baik atau bukan, orang luar tidak tahu. Yang mengetahui hal itu hanya kita (guru) sendiri. Bahkan, penilaian ekternal kepada kitapun tidak berpengaruh banyak. Orang yang bagus dalam pembelajaran, yang kurang bagus, dan yang tidak bagus kadang-kadang penilaiannya oleh atasan sama saja. Kuncinya, tetap berada pada keikhlasan mengerjakan.
Bekerja dengan landasan keikhlasan, tidak dapat diperoleh secara serta-merta. Ikhlas itu tidak datang dengan sendirinya. Tidak muncul tiba-tiba. Untuk menjadi ikhlas ternyata perlu berlatih dan berlatih. Proses yang panjang dalam berlatih akan membuahkan kebiasaan berikhlas mengerjakan sesuatu. Nah, hal inilah yang saya lakukan sebagai guru. Saya terus berlatih, kemudian saya rasakan hasilnya. Berlatih lagi, dan dirasakan lagi hasilnya. Begitu terus-menerus, sehingga pada saatnya ditemukan “kenikmatan profesional” yang tiada bertara. Akhirnya, bekerja dengan ikhlas menjadi kepribadian. Oleh karena itu, sampai tulisan ini dibuat saya masih belajar untuk menjadi orang yang ikhlas.
Penutup
Kisah ini sebagian kecil dari kegiatan menjadi guru. Hanya tiga poin saja yang saya kisahkan yang berhubungan dengan profesi guru. Belajar, menilai diri, dan belajar ikhlas. Kisah ini saya kutip dan saya publikasikan, terutama untuk memperingati ”Hari Guru 2024” ini. Mudah-mudahan, hal yang dikisahkan ini ada manfaatnya bagi sejawat guru yang menyediakan waktu untuk membaca. Kisah ini saya paparkan apa adanya, sehingga diharapkan membangun suasana tersendiri bagi pembaca.
Saya ucapkan selamat berbahagia kepada sejawat guru yang bulan ini akan memperingati ”harinya”. Semoga guru kini dan masa depan semakin profesional. Keprofesionalan itu pula diharapkan mengantarkannya ke kehdupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat kelak. Amin Ya Robbal Alamain.
Padang, November 2024
Terima kasih kepada srnior ku..Pak Zul..yang sering dulu bertemu dalam kegiatan berbagai pelatihan guru BahasaIndonesia.
Memang pantas Bapak menjadi duru teladan.Bapak sudah mwnjiwai begitu mendalam hakikat menjadi pendidik secara lahir batin.
Setelah membaca tulisan ini,saya merasa sangat kurang dalam mengajar seperti yang lakukan.
Bahkan kami seharusnya dulu sering mengundang Bapak untuk sebagai contoh pendidik yang ideal dalam kegiatan mgmp kelompok kami.
Namun diakhir masa tugas saya ini,saya beruntung mwndapatkn uraian pengalaman yang penuh inspiratif..bagi pwndidik di masa yang akan datang.
Sekali ,terima kasih Pak Zul,Guru Idola bagi siswanya selama ini,dan juga bagi kami guru yang pernah menjadi peserta berbagai pelatihan dulu.Juga kepada rekan Pak Zul,,yaitu Pak Indra Jaya..
Salam saya,,Firdaus…dulu mengajar di SMP IV koto..dan pindah je SMK IV Angkek..akhirnya pensiun di hari guru tahun ini..
Wassalam.
Alhamdulillah. makasi kembali, Pak Firdaus. Saya juga berterimakasih karena Pak Fir telah menyediakan waktu untuk membaca tulisan saya dan singgah di “zulkarnaini.my.id”. Saya mengikuti kegiatan dan profesi guru secara mengalir, Pak Fir. Tidak ada yang unik dan istimewa yang saya lakukan. Biasa-biasa saja kegitan yang saya ikuti. Selamat “Hari Guru”, Pak Fir. Meskipun pensiun sebagai ASN, tetapi kita tetap “guru”. sekurang-kurangnya guru untuk diri sendiri dan keluarga. Selamat menapaki masa pensiun sebagai ASN, salam untuk keluarga. Semoga kita senantiasa dalam bimbingan dan Ridha Allah SWT, amin YRA!
Alhamdulillairobbil’alaamiin, terimakasih banyak Pak…sangat menginspirasi dan memotivasi untuk dapat menulis seperti Bapak.
InsyaAllah, Uun juga ingin menggoreskan tulisan tentang banyak hal, pengalaman jadi guru dari tahun 1992, akan tetapi Uun tidak terampil dalam merajut kata kata yang indah seperti yang Bapak tulis.
Apakah ada tulisan Bapak tentang menulis? Bagi nanti ya Pak.
Terimakasih banyak Pak.
Selamat hari Guru Pak,…semakin ke depan dengan bertambahnya usia bumi, semakin banyak tantangan saat menghadapi kurenah murid yang hidup di era Globalisasi.
Alhamdulillah, menulis itu mudah, Bu. Hal penting ada tiga. Pertama mau, kedua, ada yang akan ditulis, ketiga terampil berbahasa tulis. Itu saja selesai Bu. Ada buku yang saya tulis tentang “menulis”. Judulnya “Bermula dari Ide, Berakhir pada Tulisan”. Biasanya ada di toko buku online Shopee. Ibu boleh cek di tokok buku itu. Kalau sudah habis stoknya, nanti saya lihat di rumah kalau stok masih ada. Begitu, Bu. Salam!